Jangan Samakan Krisis Corona dengan 1998 dan 2008



Jakarta - Perekonomian Indonesia berhasil melewati krisis pada tahun 1998 dan 2008. Saat ini ekonomi Indonesia kembali dilanda krisis yang berasal dari sektor kesehatan akibat virus Corona alias COVID-19.

Pandemi COVID-19 berhasil mengganggu roda perekonomian dunia. Corona bahkan 'memangkas' proyeksi pertumbuhan ekonomi global karena gonjang-ganjing yang terjadi di pasar keuangan dan sektor riil.

Di Indonesia, krisis akibat Corona akan mengulangi kejadian yang pernah terjadi di tahun 1998 dan 2008. Namun beberapa kalangan menilai, krisis ekonomi akibat Corona berbeda dengan yang sebelumnya terjadi.

Peneliti CSIS Fajar B Hirawan mengungkapkan krisis yang terjadi pada 1998 dipicu oleh gangguan di pasar keuangan. Seperti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sangat cepat.

Pada krisis 1998, respons kebijakannya fokus di pasar keuangan dan ekonomi secara umum. Sedangkan krisis ekonomi akibat COVID-19 pemicu utamanya adalah penyebaran wabah dan virus yang mengganggu seluruh aspek ekonomi, khususnya perdagangan, kinerja industri manufaktur dan jasa serta pasar uang.

"Kebijakan yang ditempuh tidak hanya fokus pada masalah ekonomi atau keuangan, tetapi juga terkait masalah kesehatan dan kemanusiaan," kata Fajar saat dihubungi detikcom, Sabtu (18/4/2020).
Dia menjelaskan krisis pada 1998 juga sangat berbeda dengan saat ini. Mulai dari kesiapan otoritas moneter dan fiskal saat mengantisipasi dampak krisis.

Kemudian dari sisi fiskal, pemerintah saat ini juga lebih responsif dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi, khususnya menjaga sektor konsumsi rumah tangga, karena memang pada dasarnya sudah banyak belajar dari kasus krisis 1998 dan 2008 lalu.

Ekonom senior Chatib Basri menilai penanganan krisis ekonomi akibat virus Corona berbeda saat waktu krisis keuangan tahun 2008 yang disebabkan oleh subprime mortgage di Amerika Serikat (AS).

"Berbeda dengan 2008, krisis keuangan global relatif lebih mudah penanganannya dibanding sekarang," kata Chatib dalam video conference, Jakarta (21/4/2020).

Pada saat itu, Chatib menyebut kinerja ekspor nasional terganggu karena dampak dari krisis itu membuat pasar internasional susah sehingga pemerintah pun mengambil kebijakan dengan mengalihkan pasar ke dalam negeri sendiri.

Kondisi yang sekarang dihadapi Indonesia, kata eks Menteri Keuangan ini berbeda dengan krisis sebelumnya. Sebab permasalahanya yang harus dihadapi adalah kombinasi antara permintaan dan suplai yang terganggu. Apalagi penyebaran pertama kali terjadi di China yang memiliki peran besar pada produk di dunia.

"Karena demand-nya China kena, permintaan dari China alami penurunan. Buat Indonesia terpukul karena ekspor ke China adalah batubara dan kelapa sawit," jelasnya.

"Karena China kena krisis, permintaannya turun, harga turun, terlihat dampaknya dan sudah terlihat dari penerima pemerintah. Karena pajak paling besar dari batubara dan sawit. Kemudian, punya dampak ke ekspor, investasi, daya beli," tambahnya.

Kondisi tersebut semakin rumit ketika banyak negara memutuskan membatasi pergerakan manusia melalui lockdown maupun PSBB untuk di Indonesia. Kebijakan tersebut memberikan dampak pada produktivitas dunia usaha dan mengubah perilaku pasar.

Oleh karena itu, Chatib meminta pemerintah berhati-hati dalam menjalankan kebijakan penanggulangan COVID-19. Menurut dia, penyediaan anggaran yang ditujukan untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi sudah tepat.

Pemerintah menyediakan anggaran pada stimulus III sebesar Rp 405,1 triliun. Di mana sekitar Rp 75 triliun untuk insentif tenaga kesehatan dan penanganan kesehatan. Lalu sekitar Rp 110 triliun untuk sosial safety net seperti BLT, sekitar Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri seperti pemotongan pajak, dan Rp 150 untuk program pemulihan ekonomi nasional.

Sumber: Detik.com