Gegara China, Hong Kong Terancam Hilang Status Pusat Keuangan Asia
Jakarta - Hong Kong selama ini terkenal sebagai pusat
keuangan Asia. Bahkan, selama aksi protes massa berbulan-bulan lamanya, status
itu masih mampu dipertahankan. Namun, sejak China mengumumkan bakal menerapkan
Undang-Undang Keamanan Nasional, Hong Kong terancam kehilangan status tersebut.
Lantaran, tak lama setelah pengumuman itu indeks saham Hang
Seng (HSI) Hong Kong langsung anjlok lebih dari 5% pada perdagangan Jumat lalu
(22/5). Penurunan persentase ini adalah penurunan dalam satu hari yang paling
dalam sejak Juli 2015 lalu.
"Hong Kong hari ini berdiri sebagai model perdagangan
bebas, pemerintahan yang kuat, arus informasi dan efisiensi yang bebas. Namun,
ini tidak akan bertahan jika pondasi untuk peran Hong Kong sebagai pusat bisnis
dan keuangan utama internasional mulai terkikis," ujar Ketua Kamar Dagang
Amerika di Hong Kong, Robert Grieves dikutip dari CNN Business, Selasa
(26/5/2020).
Selama ini, kebebasan politik dan hukum Hong Kong memberi
kenyamanan bagi banyak investor dan perusahaan asing untuk meraup keuntungan di
sana. China memang sengaja memberi kebebasan kepada tanah daratan satu ini
tujuannya demi mengumpulkan modal dan memperluas basis investor mereka atau
sebagai landasan ekspansi ke luar negeri. Bursa saham Hong Kong bahkan sempat
menduduki posisi teratas dunia mengalahkan rivalnya di New York dan London.
Namun, kepercayaan investor dan perusahaan asing ke kota ini
memudar setelah adanya protes anti-pemerintah tahun lalu di Hong Kong. Meski
sebagian besar perusahaan asing akhirnya memilih untuk tidak meninggalkan Hong
Kong, namun status Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia jadi terguncang.
Puncaknya, pimpinan Cathay Pacific Airways Hong Kong John
Slosar mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya pada Rabu (4/9/2019) lalu.
Ia adalah seorang eksekutif di Swire Pacific Ltd yang merupakan pemegang saham
utama maskapai tersebut.
Pengunduran diri Slosar, mengikuti tindakan CEO Cathay
Pacific Rupert Hogg. Hogg juga memutuskan untuk mengundurkan diri dari
jabatannya pada bulan sebelumnya setelah regulator penerbangan Cina
meningkatkan pengawasan mereka terhadap maskapai dan anggota stafnya.
Peningkatan pengawasan dilakukan menyusul protes
anti-pemerintah di Hong Kong.
Ditambah lagi, kebanyakan investor dan perusahaan asing yang
bercokol di Hong Kong berasal dari Amerika Serikat. Ketegangan AS dan China
semakin mengancam posisi Hong Kong.
Lebih dari 1.300 perusahaan AS beroperasi di kota itu.
Ketegangan AS dan China pastinya berpotensi membuat para perusahaan itu angkat
kaki hingga akhirnya mengancam pencabutan status khusus Hong Kong.
"Masih harus dilihat apakah AS akan segera mencabut
tindakan itu. Ekonom kami berpendapat status khusus (Hong Kong) kemungkinan
hanya mampu bertahan dalam waktu dekat saja, karena AS dan China memiliki
kepentingan yang signifikan dalam mempertahankan status quo mereka," tulis
Analis di Citi dalam sebuah catatan penelitian, Jumat (22/5/2020).
Sumber: Detik.com