Laylatul Qadar di Luar Ramadhan



Jakarta - Sahabat Hikmah detikcom, Anda merasa akan kehilangan momentum Ramadan? Anda tidak memperoleh isyarat telah mendapat anugerah malam Laylatul Qadar di salah satu malam ganjil, fil 'asyril awaakhir di bulan suci? Atau merasa Ramadan tahun ini tidak sesublim tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya ? Walhasil, Anda merasa benar-benar telah kehilangan kesempatan memetik sebanyak mungkin anugerah Ramadan.

Maka, ketahuilah, Anda sejatinya sedang disayang Allah ! Lho ? Kok bisa ? Tidak merasa dapat berkah laylatul qadar dan akan ditinggal Ramadan dalam keadaan hati tidak siap, tapi disebut disayang Allah ? Wahai, Saudaraku ! Ketika datang kesadaran bahwa Anda tidak punya amal apa-apa, ketika kita sedih karena merasa tetap jauh dari Allah padahal ini Ramadan, sebenarnya Allah tengah menyayangi kita. Untung kita sadar !

Ramadan mengajarkan pelakunya bersiap pulang ke kampung halaman. Di mana ? Yaitu kampung akhirat. "Tsumma Ilayya Marji'ukum --kemudian, kepada-Ku lah tempat kalian semua dipulangkan." Begitu kita merasa kurang dekat, kurang mendekati standar Allah, maka saat itulah Allah mengirim kita sinyal berupa hidayat. Teguran agar bisa terus bermujahadah, mendekati kualifikasi taqwa --tujuan disyariatkannya puasa Ramadan. Agar bisa mudik kepada-Nya dengan penuh keridhaan.

Anugerah Kesadaran
Kesadaran akan derajat diri di mata Allah, adalah sapaan paling menyenangkan dari Allah. Inilah anugerah kesadaran diri. Saat kita bisa merasa bahwa kita jauh, sadarilah ; itu bisikan ilahiyah. Ketika kita sadar bahwa yang kita lakukan bukan yang Dia maksudkan, maka kita tengah disayang oleh-Nya. Sebab, tidak sedikit di antara kita yang belum masuk alam hisab amal, sudah "siaran" bahwa dia sudah melakukan ini itu, seperti dikehendaki Allah.

Semakin sering perasaan itu muncul, kian gelaplah hati kita. Kenapa ? Karena kita baru semata menggunakan ukuran yang kita bikin sendiri sesuai kehendak kita. Kita tengah berada di masa, di mana semua harus beramal, sebelum akhirnya datang yaumul hisaab --hari penghitungan. Akan tiba saatnya di mana semua amal akan dihisab sementara pintu untuk beramal sudah tertutup. Hanya rahmat-Nya. Ya cuma itu harapan kita.

Bukankah tidak sedikit di antara kita yang merasa bahwa semua amalnya adalah baik, semua amalnya adalah saleh, semua amalnya adalah kebajikan, semuanya persis seperti yang dimaui Allah ? Nah, di situlah letak kekeliruannya. Mengutip KH Samson "La Tahzan" Rahman ; virus paling mematikan hati hamba Allah, salah satunya, adalah saat tiba kepadanya perasan ; dirinya lebih baik dari orang lain.

Ketika sejumlah kita rajin mencatat semua daftar ibadahnya yang berhasil dilakukan selama Ramadan, maka saat itulah virus al-kibru --kesombongan, telah membungkus hatinya. Bukti bahwa virus itu kian kuat mencengkramnya, adalah saat dengan bangga ia menceritakan semua amalnya kepada tetangganya, teman-temannya, di dunia nyata maupun di dunia maya. Itulah, situasi di mana kita sudah terpapar parah.

"Saya sudah khatam sekian juz Alquran, saya sudah dzikir sepanjang malam, dan saya dapat bisikan laylatul qadar," begitu kadang kita baca di wall kita dan sejumlah teman di dunia maya. Atau bisik-bisik sambil menyiapkan penganan jelang Idul Fitri. Maka, itulah isyarat bahwa semua yang dia ceritakan hanya akan tinggal cerita. Ia sudah terkena penyakit hati seperti riya', sum'ah, dan takabbur. Naudzubillah Min Dzaalik !

Manjakan Nasfu
Ketika orang-orang berkompetisi mengumumkan daftar jumlah amalannya, saat itulah mereka berlomba memenuhi dahaga nafsunya. Membanggakan amalnya. Kita tengah memanjakan nafsu. Kita mengisi ruang-ruang jiwa dengan catatan kebangaan akan capaian diri dan syahwat. Ketika kita merasa bangga, apalagi merasa amal melampaui jumlah amalan orang lain, maka bersiaplan kita ditinggalkan setan. Karena kita bermaksiat dengan maksiat yang dulu dilakukan Iblis : takabbur.

Iblis sekali menolak amar Allah untuk sujud kepada Nabi Adam As, ia melakukan dua hal paling tidak disuka Allah. Pertama menentang amar Allah dengan cara membangkan melakukan sujud kepada Nabiyullah Adam. Alasan kedua ia menolak, jadi penyebab makhluk ini dikutuk hingga Hari Kiamat. Apa itu ? Ana Khayrun Minhu --saya (Iblis) lebih baik dari dia (Nabi Adam As).

Inilah yang dikuatirkan semua pelaku ibadah di bulan Ramadan. Kuatir, karena lidah yang disucikan Ramadan dengan lantunan ayat-suci, dzikir, taubat, tasbih, tahlil dan tahmid serta takbir, kembali menjadi kotor setelah Ramadan. Sampai hati kah kita menggunakan lidah dan lisan yang tersucikan sebulan penuh dengan menggunjing, berkata kotor, memaki dan menista orang lain setelah Ramadan ?

Sebulan penuh, perut kita jaga dari makanan haram selama puasa. Perut kita sudah tersucikan. Perut kita sudah dilatih sejak sebelum terbit fajar hingga terbenam matahari, untuk mengikuti kehendak Allah. Larangan makan minum itu kehendak Allah lewat firman-firman-Nya. Sungguh laknat kita, bila perut yang sama, kita isi dengan barang haram setelah Ramadan berlalu.

Akhirul Kalam
Lalu, bagaimana kita tahu sudah bertemu laylatul qadar ? Kita akan membuktikannya setelah Ramadan berlalu. Laylatul Qadar itu akan mengalirkan berkah hingga ke bulan-bulan lain setelah Ramadan. Kalau dalam seribu bulan ke depan hubungan kita dengan Khaliq makin nikmat, itulah isyarat laylatul qadar tengah bekerja. Jika seribu bulan ke depan mu'amalah dengan makhluk kian asyik, itu bukti laylatul qadar mulai meliputi hidup kita.

Bila setelah Ramadan hingga 1000 bulan ke depan, kita tidak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, itu tanda kita sudah bersama laylatul qadar. Kewajiban usai Ramadan adalah bersyukur. "Syukur berupa kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri," kata As Syibli seperti dikutip Imam An Qusyairi an Naisaburi dalam Ar Risalah Al Qusyaiyah.


ÙˆَÙ„ِتُÙƒْÙ…ِÙ„ُوا الْعِدَّØ©َ ÙˆَÙ„ِتُÙƒَبِّرُوا اللَّÙ‡َ عَÙ„َÙ‰ٰ Ù…َا Ù‡َدَاكُÙ…ْ ÙˆَÙ„َعَÙ„َّÙƒُÙ…ْ تَØ´ْÙƒُرُونَ
"Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS Al Baqarah : 185)

Wallaahu A'lamu Bishshowab...

Ishaq Zubaedi Raqib
Pengasuh Pengajian Kitab Kuning "Al Mawaidz An Ushfuriyah" Masjid An Nur, Griya Alam Sentosa, Cileungsi, Bogor,-



Sumber: Detik.com