Mereka yang Jadi 'Detektif Corona', Menelusuri dan Melacak Kontak COVID-19
Jakarta - Di negara bagian Bayern, Jerman, Franziska Weiss
adalah satu dari sekitar 2500 pelacak kontak Covid-19 yang dikerahkan sejak
akhir April di negara bagian ini saja. Dia sebenarnya masih mengikuti
pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil, tetapi negara meminta dia
menunda pendidikannya dan bekerja sebagai pelacak kontak wilayah luar kota.
Kebanyakan tugas Franziska adalah menelepon orang. Bukan hal
mudah, karena awalnya banyak orang akan curiga jika dihubungi lewat telepon dan
ditanyakan macam-macam soal kegiatan sehari-hari mereka, termasuk dengan siapa
saja mereka punya kontak. Di Jerman, warganya sangat menjaga data-data pribadi
mereka.
Kalau ada yang ragu bahwa dia benar-benar bekerja untuk
Departemen Kesehatan, Franziska akan memberi orang itu identitasnya di kantor
pelayanan kesehatan masyarakat. Dia akan menghentikan percakapan telepon,
memberi nomor dinas pelayanan masyarakat, dan menunggu sampai lawan bicara
mengonfirmasi identitasnya, lalu menghubungi dia lagi.
Tugas Franziska sebenarnya adalah menghubungi orang yang
dites Covid-19 dan memberitahu hasilnya. Dan jika hasilnya positif, dia perlu
tahu dengan siapa saja orang itu melakukan kontak, untuk meredam penyebaran
virus.
"Kebanyakan orang tetap tenang ketika saya memberi tahu
mereka bahwa mereka terinfeksi. Tapi mereka punya banyak pertanyaan, dan saya
hanya punya waktu setengah jam untuk menjelaskan semuanya". Selain
penjelasan, Franziska Weiss harus mengorek informasi yang bagi banyak orang
bersifat pribadi. Tidak seperti di awal pandemi, sekarang Franziska hanya perlu
menelusuri kontak pasien Covid-19 dalam dua hari terakhir. Dulu, mereka harus
menelusuri kontak untuk 14 hari terakhir, suatu hal yang cukup sulit
diwujudkan.
"Saya harus menanyakan misalnya apakah mereka pernah ke
penata rambut atau mengunjungi dokter. Kalau ya, di mana dan siapa. Terutama
orang tua atau yang sudah pelupa, tidak bisa mengingat lagi. Jadi saya harus
bertanya kepada anggota keluarganya."
Jika seseorang belum dites, tapi punya kontak dengan pasien
Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Franziska akan menghubungi
orang itu setiap hari, untuk menanyakan keadaan mereka. Jika tes diperlukan,
dia harus mempersiapkan tempatnya, di rumah atau di laboratorium.
Tapi Franziska mengaku bisa juga menikmati pekerjaannya.
"Saya bisa memberi tahu orang-orang kapan karantina mereka berakhir. Dan
itu selalu merupakan saat yang membahagiakan."
San Fransisco, AS: Lucia Abascal
Lucia Abascal bekerja sebagai pelacak kontak di kota San
Fransisco, Amerika Serikat. Terutama di kalangan migran dan tunawisma.
"Ada banyak orang tunawisma di San Francisco. Tidak
semua orang mampu membayar karantina," kata Lucia Abascal, yang lahir di
Meksiko dan sekarang menjadi dokter di AS. Kemampuannya berbahasa Meksiko
sangat membantu tugasnya. Hal pertama yang akan dia tanyakan ketika melakukan
kontak adalah, apakah lawan bicaranya punya rumah dan cukup makanan untuk 14
hari.
"Mayoritas orang yang berisiko adalah orang Amerika
Latin. Banyak yang harus ke luar untuk bekerja mencari nafkah menghidupi
keluarga besar mereka. Ini membuat mereka rentan terkena virus."
Lucia bekerja dalam tim dengan 40 orang pelacak. Mereka
terdiri dari pejabat kesehatan, dokter, mahasiswa kedokteran, juga
pegawai-pegawai kantor yang saat ini kehilangan pekerjaan. Tugas mereka
menghubungi orang-orang dan mengatur tes untuk mereka. Jika diperlukan, tim
juga akan mengirim paket makanan atau obat-obatan, dan mengatur kamar hotel untuk
penginapan.
Setiap hari, pekerjaan Lucia diawali dengan pembagian daftar
orang yang perlu dihubungi. Dia bekerja dari rumah dalam shift empat jam. Tim
pelacak di San Fransisco tidak menggunakan aplikasi pelacakan Covid-19,
sekalipun perusahaan teknologi sudah beberapa kali menawarkan dukungan untuk
pembuatan aplikasi.
"Aplikasi memang dapat memberi tahu Anda apakah
seseorang pergi ke Starbucks, tetapi mereka tidak dapat memberi tahu Anda
orang-orang itu mencoba untuk dites, tapi tidak bisa, apakah mereka mengalami
kesulitan atau tidak menyediakan makanan untuk keluarga mereka," kata
Lucia. "Ada hal-hal rumit pada pekerjaan ini yang tidak bisa diselesaikan
oleh teknologi."
Singapura: Edwin Philip
Edwin Philip telah bekerja sebagai pelacak kontak Covid-19
di Singapore General Hospital sejak awal Februari. Berbeda dengan Franziska
Weiss atau Lucia Abascal, yang menelepon orang-orang yang sudah mereka
identifikasi, Edwin justru pertama-tama harus mengidentifikasi lawan bicaranya,
lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan terarah, mirip seorang detektif.
Tugasnya adalah merekonstruksi selengkap mungkin histori
pergerakan dan kontak seseorang selama 14 hari sebelumnya. Untuk itu, Edwin
punya waktu dua jam. Dia mulai dengan mengajukan pertanyaan terperinci tentang
makanan mereka.
"Saya menanyakan mereka apa yang mereka punya untuk
sarapan, makan siang, dan makan malam. Lalu saya bertanya kepada siapa mereka
memberikan botol garam atau saus tomat, berapa lama mereka berbicara dengan
orang lain. Ini memberi saya petunjuk tentang siapa-siapa yang bisa
terinfeksi."
Edwin kemudian bertanya apakah mereka mengunjungi gereja,
masjid, kuil atau mal.
"Beberapa dari mereka mengirimi saya foto semua
rekening taksi dan restoran mereka, kadang-kadang sudah lusuh. Jadi saya harus
memindai dan membuatnya dapat dibaca lagi," kata Edwin. Kalau ada yang
tidak bisa mengingat semuanya lagi, Edwin akan berbicara dengan pasangan atau
anggota keluarga mereka.
Sebagian besar infeksi Covid-19 di Singapura sekarang
terjadi di asrama hunian yang yang menampung 300 ribu dari sekitar 1,4 juta
pekerja di Singapura. Karena kebanyakan dari mereka berasal dari Asia Selatan,
Edwin sering menghadapi hambatan bahasa.
"Pada awal wabah, sebagian besar yang terinfeksi adalah
warga Cina, yang bisa berbicara dengan banyak orang Singapura, termasuk saya.
Tapi saya tidak tahu bahasa Bengali (Bangladesh) dan penerjemahnya juga
kurang," katanya.
Seperti Fanziska Weiss atau Lucia Abascal, Edwin Philip
tidak menggunakan aplikasi dalam pekerjaannya. Memang ada aplikasi pemerintah,
TraceTogether, tapi itu dipandang sebagai alat bantu sekunder. Pelacakan dan
penelusuran kontak terbukti efektif jika dilakukan oleh manusia. Singapura
memang sudah punya pengalaman pelacakan kontak ketika menghadapi wabah SARS
tahun 2003.
Sumber: Detik.com