Jakarta - Keyakinan pelaku ekonomi yang tercermin pada
Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia telah mengalami penurunan terparah
sejak 2011. Pada April ini angkanya turun 27,5 dibanding periode Maret 45,3.
Angka ini terkontraksi di level terendah sejak 2011.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pun menjelaskan ekonomi Indonesia, khususnya sektor industri manufaktur sangat tergantung dari kemampuan domestic market/domestic consumption.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pun menjelaskan ekonomi Indonesia, khususnya sektor industri manufaktur sangat tergantung dari kemampuan domestic market/domestic consumption.
"Assessment kami sekitar 70% hasil produksi Industri
Manufaktur diserap pasar dalam negeri. Maka ketika kemampuan/atau daya beli
masyarakat tertekan, tidak ada demand, secara otomatis perusahaan industri
harus melakukan penyesuaian, termasuk penurunan drastis utilisasinya,"
kata dia Rabu (6/5/2020).
Belum lagi ketika dikaitkan dengan rantai pasok (supply chain) dari industri turunannya, yang mana menurutnya banyak tergantung dari industri besar atau industri induknya, yang mana itu pasti juga akan memukul rantai pasok tersebut.
"Kebutuhan dan ketersediaan bahan baku jadi masalah, karena dikaitkan dengan demand yang didasari oleh daya beli masyarakat. Kita ambil contoh India yang Industrinya juga tergantung domestic consumption, hari ini PMI-nya turun sangat drastis," ujarnya.
Belum lagi ketika dikaitkan dengan rantai pasok (supply chain) dari industri turunannya, yang mana menurutnya banyak tergantung dari industri besar atau industri induknya, yang mana itu pasti juga akan memukul rantai pasok tersebut.
"Kebutuhan dan ketersediaan bahan baku jadi masalah, karena dikaitkan dengan demand yang didasari oleh daya beli masyarakat. Kita ambil contoh India yang Industrinya juga tergantung domestic consumption, hari ini PMI-nya turun sangat drastis," ujarnya.
Index PMI India, lanjut dia sebesar 27,4, yang mana polanya
sama dengan Indonesia.
"Selain daya beli masyarakat, logika sederhananya adalah kondisi normal PMI kita di Angka 50an. Jika utilitas turun sampai di bawah 50% maka angka PMI disekitar 25an. Variabel penjualan, dan input manufaktur kita 74% impor dan dengan tambahan tekanan kurs maka beban input meningkat akibatnya output (demand) menurun signifikan," paparnya.
Agus menjelaskan bahwa dibandingkan negara Asean, volume atau size industri manufaktur Indonesia lebih besar, maka jika terpukul pastinya nilai PMI Indonesia terseret ke bawah lebih dalam.
"Namun saya yakin, apabila nanti PSBB (pembatasan sosial berskala besar) bisa direlaksasi, sehingga kegiatan ekonomi berangsur pulih, sehingga daya beli masyarakat pulih, industri manufaktur kita akan bergairah lagi, seperti PMI yang 51,9 dibulan Februari ini," lanjut Agus.
Dia menambahkan, Indonesia untuk jangka menengah dan panjang harus memperbesar rasio penyerapan produk untuk ekspor, dengan membuka akses pasar di negara lain.
"Selain daya beli masyarakat, logika sederhananya adalah kondisi normal PMI kita di Angka 50an. Jika utilitas turun sampai di bawah 50% maka angka PMI disekitar 25an. Variabel penjualan, dan input manufaktur kita 74% impor dan dengan tambahan tekanan kurs maka beban input meningkat akibatnya output (demand) menurun signifikan," paparnya.
Agus menjelaskan bahwa dibandingkan negara Asean, volume atau size industri manufaktur Indonesia lebih besar, maka jika terpukul pastinya nilai PMI Indonesia terseret ke bawah lebih dalam.
"Namun saya yakin, apabila nanti PSBB (pembatasan sosial berskala besar) bisa direlaksasi, sehingga kegiatan ekonomi berangsur pulih, sehingga daya beli masyarakat pulih, industri manufaktur kita akan bergairah lagi, seperti PMI yang 51,9 dibulan Februari ini," lanjut Agus.
Dia menambahkan, Indonesia untuk jangka menengah dan panjang harus memperbesar rasio penyerapan produk untuk ekspor, dengan membuka akses pasar di negara lain.
Sumber: Detik.com