Jakarta - Pemerintah Turki memperingatkan orang kuat Libya,
mantan jenderal Khalifa Haftar, agar menghentikan serangan terhadap misi
diplomatik di Libya. Dalam dua hari terakhir, beberapa serangan dilakukan dekat
misi perwakilan Turki dan Italia di Tripoli.
"Jika misi dan kepentingan kami di Libya menjadi
sasaran, kami akan menganggap pasukan Haftar sebagai target yang sah,"
kata sebuah pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Turki hari Minggu (10/5).
Turki juga mengkritik PBB yang dinilainya "tetap diam terhadap pembantaian
ini."
Turki selama ini mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional
(GNA) di Tripoli, yang juga didukung oleh PBB. Sementara Rusia, Mesir dan Uni
Emirat Arab mendukung Khalifa Hatar, yang bermarkas di Tobruk dan membawahi
pasukan milisi yang menamakan dirinya "Tentara Nasional Libya".
Turki juga memperingatkan negara-negara yang mendukung
Haftar. "Negara-negara yang memberikan bantuan militer, keuangan, dan
politik kepada Haftar bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami rakyat
Libya, dan kekacauan serta ketidakstabilan negara ini," kata Kementerian
Luar Negeri Turki.
'Serangan serampangan'
Hari Minggu terjadi serentetan serangan roket di Tripoli,
yang diperebutkan dengan sengit oleh pasukan pemerintah dan milisi pimpinan
Khalifa Haftar. Beberapa warga sipil, termasuk seorang anak perempuan berusia
lima tahun diberitakan tewas dalam serangan itu.
Misi PBB di Libya UNSMIL menyerukan kepada Khalia Haftar
untuk mengakhiri "serangan serampangan" ke kawasan sipil. Juga
bandara Mitiga di Tripoli, satu-satunya bandara sipil yang masih beroperasi,
mengalami serangan roket.
"UNSMIL memperbarui kecamannya atas serangan yang
berdampak pada warga sipil dan infrastruktur sipil, dan menegaskan kembali
seruannya kepada mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan di bawah hukum
internasional untuk diadili," kata UNSMIL.
(Tweet: )
Konferensi internasional belum berhasil redakan konflik
Serangan ke bandara Mitiga terjadi ketika sebuah pesawat
sipil bersiap untuk berangkat.
Turki menyebut serangan itu sebagai "kejahatan
perang".
Libya jatuh ke dalam kekacauan setelah diktatornya Muammar
Gaddafi terguling dan dibunuh para pemberontak yang antara lain didukung oleh
negara-negara NATO. Sejak itu, faksi-faksi yang bertikai terlibat peperangan
sengit memperebutkan kekuasaan.
Akhir Januari 2020, pemerintah Jerman memprakarsai
konferensi internasional untuk perdamaian di Libya, yang juga melibatkan
pihak-pihak yang bertikai. Dalam konferensi itu antara lain disepakati gencatan
senjata antara pihak-pihak yang berperang, dan pengiriman misi internasional
untuk mengawasi gencatan senjata. Namun hingga kini pertempuran terus terjadi.
Sumber: Detik.com