Pandemi COVID-19 Mengubah Hubungan China dan Afrika
Jakarta - Tahun ini merupakan tahun yang sangat sulit bagi
hubungan Cina – Afrika. Cina dengan cepat menyediakan bantuan dan memberikan
dukungan kepada negara-negara Afrika selama pandemi COVID-19 berlangsung. Namun
adanya wabah ini juga memperlihatkan aspek kemitraan Beijing dengan
negara-negara Afrika yang tidak berjalan baik.
Pinjaman besar-besaran Cina ke negara-negara di Afrika
mungkin tidak lagi dapat dipertahankan. Ekonominya goyah ketika pengangguran
meningkat dan risiko kebangkrutan untuk bisnis meningkat. Para ahli berharap
ekonomi Cina terus bertahan, sehingga para pemimpin Afrika tidak akan beralih
ke negara lain di tengah krisis yang sedang berlangsung.
Sementara itu, wabah virus corona juga mengungkapkan
kurangnya pemahaman antara orang-orang Cina umumnya dengan orang Afrika. Pada
bulan April, Beijing mendapat kecaman luas karena kurangnya simpati terhadap
insiden rasisme dan diskriminasi orang Afrika di Guangzhou. Beberapa duta besar
Afrika mengutuk insiden itu dan memberi tekanan pada pemerintah Cina untuk
merespon.
Pada bulan Mei, tiga warga Tiongkok dibunuh di ibukota
Zambia, Lusaka. Salah satu korban adalah istri pemilik pabrik, yang tempatnya
itu menjadi lokasi di mana jasad mereka diseret sebelum dibakar. Pembunuhan itu
terjadi setelah Wali Kota Lusaka memposting video di Facebook di mana ia
berhadapan dengan pemilik pabrik tentang menjaga pekerjanya di pabrik dan tidak
membiarkan mereka pulang di tengah pandemi COVID-19.
Cina di posisi unik
Meskipun banyak berita negatif, Cina sepertinya masih dapat
mengambil manfaat dari pandemi yang sedang berlangsung di Afrika. Beijing
merupakan mitra pertama yang mampu mengendalikan wabah virus corona, dan itu
bukan satu-satunya keuntungan.
"Cina berada dalam posisi yang unik, dibandingkan
dengan orang Eropa atau Amerika karena mereka memiliki populasi migran yang
besar, komunitas bisnis yang mapan," kata Eric Olander, redaktur pelaksana
situs web dan podcast Proyek Cina-Afrika.
Diperkirakan $ 280 juta atau setara Rp 3,9 triliun bantuan
terkait krisis COVID-19 telah diberikan Cina, di mana sebagian besar dana
tersebut berasal dari perorangan dan komunitas bisnis.
Ada sekitar 1 juta orang Cina tinggal di Afrika, yang
menjadikan mereka populasi migran non-Afrika terbesar di benua itu.
Meskipun kondisi saat ini membuka celah dalam hubungan
antara Cina-Afrika, namun di sisi lain ada nilai positif dalam keterlibatan
Beijing di benua itu. Tingkat keterlibatan swasta dalam bantuan COVID-19 beberapa
bulan terakhir menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang berubah.
Investasi swasta meningkat
Tidak mengherankan bila bantuan resmi Tiongkok telah
dikalahkan oleh sumbangan pribadi dalam penanggulangan COVID-19. Beijing telah
mencairkan dana yang tidak sedikit di Afrika, sehingga menjadikannya kreditor
bilateral terbesar di benua itu.
Hannah Ryder dari Development Reimagined yang berbasis di
Beijing percaya bahwa selera orang Cina untuk berinvestasi di Afrika sebenarnya
dapat meningkatkan hubungan pasca-COVID.
"Menurut saya akan ada dorongan yang lebih besar dan
khususnya bukan untuk pinjaman, tetapi untuk investasi," katanya.
Dengan semakin banyaknya investor Cina yang kesulitan
menanamkan uangnya di AS dan Eropa, mereka lantas berminat untuk berinvestasi
di tempat lain. Itulah yang terjadi pada tahun 2018 ketika lebih banyak
perusahaan dari Cina berinvestasi di startup teknologi Afrika, minat mereka di
benua itu meningkat setelah banyaknya pengawasan di pasar AS.
Berbagai strategi diperlukan untuk menarik investasi Cina
Namun, hubungan antara Beijing dan mitranya di Afrika
sebagian besar tidak sebanding. Defisit perdagangan dan insiden di Guangzhou
menjadi kerikil dalam hubungan antara kedua negara. Sebaliknya, para pedagang
dari Afrika tidak memiliki kekuatan ekonomi dan akses yang sama ke pasar
seperti yang dimiliki migran Cina di benua itu.
"Apa yang perlu kita lihat adalah pergeseran dari pihak
Cina dan Afrika, tidak hanya memiliki hubungan politik, tetapi juga hubungan
ekonomi yang saling menguntungkan," kata Hannah Ryder dari Pembangunan
Reimagined.
Dan di situlah letak masalahnya. Para ahli melihat sebagian
besar negara Afrika belum mengembangkan strategi untuk menarik investasi Cina.
Contoh yang baik adalah kampanye pariwisata yang dilakukan negara-negara Afrika
di Cina, mereka tidak berbeda dengan yang ada di Eropa.
"Kita harus benar-benar memiliki strategi nyata untuk
terlibat dengan Cina," kata Ryder. "Kita harus memprioritaskan apa
yang ingin kita dapatkan dari hubungan itu." (ha/yp)
Sumber: Detik.com