RI Berpeluang Lolos dari Resesi
Jakarta - Seperti diketahui, suatu negara dikatakan
mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau
minus dalam dua kuartal beruntun secara tahunan. Negara-negara besar seperti
Singapura hingga Korea Selatan pun sudah lebih dahulu masuk ke jurang resesi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu
menuturkan, peluang Indonesia masuk ke jurang resesi tahun ini terbilang kecil.
Optimisme itu seiring dengan kondisi ekonomi RI yang dinilai masih mampu
beradaptasi dengan tekanan yang ada saat ini.
Febrio melanjutkan, kalaupun masuk jurang resesi, dia yakin
Ri tak akan terperosok terlalu dalam. "Mungkin (pertumbuhannya) sekitar
nol persen atau kalau lebih kecil dari itu, sedikit di bawah nol persen,"
ujarnya di Jakarta, kemarin (24/7).
Pemerintah memprediksi ekonomi kuartal II 2020 minus 4,3
persen. Namun, pemerintah juga terus berupaya agar ekonomi membaik pada kuartal
III 2020. Upaya itu dilakukan melalui percepatan bansos yang masuk dalam
program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program keluarga harapan (PKH),
diskon listrik, dan lainnya juga terus digenjot.
"Kalau ini berhasil, kuartal ketiga bisa tidak negatif,
mudah-mudahan bisa sedikit di atas nol," imbuh Febrio, dikutip dari
Riaupos.co.
Terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman menambahkan, kondisi di
pasar keuangan RI mulai berangsur membaik dari waktu ke waktu. Luky
menjelaskan, salah satu indikator perbaikan tercermin dari membaiknya imbal
hasil surat berharga negara (SBN) 10 tahun jika dibandingkan Maret dan April
2020. "Pergerakan yield (imbal hasil) year to date-nya hingga saat ini
sudah ada perbaikan," ujarnya, kemarin.
Pada awal 2020, imbal hasil SBN 10 tahun berdenominasi
rupiah tercatat 7 persen. Namun, angka tersebut naik pada Maret hingga April
dengan imbal hasil SBN 10 tahun mencapai 8,3-8,4 persen. Kondisi yang sama juga
terjadi pada nilai tukar rupiah. Meski secara year to date rupiah masih
terdepresiasi, namun presentasenya dinilai tidak terlalu buruk.
"Nilai tukar kita terdepresiasi, but not bad. Cuma 5,24
persen," jelasnya.
Lantas, jika Indonesia berada di ambang resesi, apa yang
sebaiknya dilakukan masyarakat? Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut, ada
beberapa opsi yang bisa dilakukan agar masyarakat mengantisipasi ancaman resesi.
Pertama, masyarakat harus menyiapkan dana darurat. Artinya,
di situasi saat ini masyarakat disarankan untuk lebih banyak menabung.
"Lebih banyak berhemat, siapkan dana darurat apabila situasi memburuk.
Karena pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan kapan akan terjadi,"
ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.
Kedua, masyarakat sebaiknya kini mulai melirik investasi di
aset-aset yang terbilang ‘aman’. Beberapa di antaranya yakni emas, surat utang
pemerintah, hingga deposito yang menawarkan bunga yang stabil dan bisa
dicairkan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.
Ketiga, seyogyanya mulai mengurangi pos-pos pengeluaran yang
bersifat sekunder. Alangkah baiknya saat ini mulai memperkuat kebutuhan pos
lain yang lebih penting seperti biaya makanan dan kesehatan.
Untuk pemerintah, Bhima mengimbau agar pemerintah
mempercepat akselerasi bansos dan belanja anggaran. Pemerintah juga diharapkan
bisa membuat kebijakan yang bersifat extraordinary dalam kondisi saat ini.
"Misalnya, subsidi internet gratis bagi UMKM, subsidi
gaji pegawai yang di-PHK, hingga pendampingan UMKM agar go digital. Jadi,
stimulus yang sudah ada harus lebih cepat direalisasikan, penanganan kesehatan
harus lebih serius jg. Sebab, tidak akan ada pemulihan ekonomi jika pandemic
masih memakan korban yang tinggi," tuturnya.