Riauupdate.com - Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan penyesalannya karena Indonesia belum memiliki program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja atau buruh yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum pandemi virus corona mewabah di tanah air.
Padahal, pandemi covid-19 membuat banyak perusahaan kesulitan keuangan sehingga mau tidak mau harus melakukan PHK kepada pekerjanya. Hal ini selanjutnya melahirkan banyak pengangguran di Indonesia.
"Saya begitu ada pandemi, saya merasa kenapa kita tidak dari dulu melakukan proses revisi UU Nomor 13, UU Nomor 40 dan seterusnya dan baru terasa betapa pentingnya kehadiran program ini ketika kita alami pandemi covid-19," ucap Ida dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Rabu (7/4).
Apalagi, sambungnya, dampak pandemi rupanya sangat besar ke sektor ketenagakerjaan karena bukan cuma memunculkan satu, dua kasus PHK, tapi jumlahnya mencapai jutaan hanya dalam satu waktu.
"Kita tidak memperkirakan sebegitu dahsyatnya dampaknya pada sektor ketenagakerjaan, teman-teman alami PHK yang luar biasa tingginya. Andai seharusnya pandeminya bisa tunggu UU ini disahkan dulu. Sayangnya kita hanya bisa merencanakan," celotehnya.
Kendati begitu, Ida berharap rencana pemerintah membentuk program JKP ke depan tetap bisa memitigasi kondisi-kondisi PHK luar biasa seperti yang terjadi akibat pandemi saat ini.
"Mudah-mudahan tidak ada musibah yang luar biasa. Kalau pun ada, mungkin Tuhan kasih cobaan lagi, mudah-mudahan kita sudah lebih antisipatif karena sudah ada beberapa langkah perlindungan kepada pekerja atau buruh," tuturnya.
Lebih lanjut, Ida menjelaskan program JKP nantinya akan dijalankan oleh pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan secara bersamaan. Namun ia memastikan tidak akan ada tumpang tindih aturan dalam pelaksanaannya, karena sudah ada aturan tertulis resmi dan tidak akan mengganggu program jaminan sosial lain di BPJS Ketenagakerjaan.
Yakni, program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kesehatan (JKN).
Selanjutnya, program JKP akan memberikan uang tunai kepada korban PHK. Jumlah maksimal yang bisa dikantongi mencapai Rp3,5 juta per orang.
Nominal ini berasal dari formula pemberian dana dengan batas atas upah senilai Rp5 juta. "Batas atas Rp5 juta ini sesuai batas penghasilan tidak kena pajak atau PTKP, tapi (batas atas ini) nanti akan ada evaluasi per tahun, jadi tidak ajeg Rp5 juta sebagai batas per tahun, setiap tahun akan ada kajiannya," jelasnya.
Sementara untuk formulanya, pemberian uang tunai akan terdiri dari dua pencairan. Pertama, sebesar 45 persen dari upah atau maksimal sekitar Rp2,25 juta untuk tiga bulan pertama.
Kedua, sebesar 25 persen dari upah atau maksimal Rp1,25 juta untuk tiga bulan berikutnya, sehingga totalnya bisa maksimal Rp3,5 juta.
"Manfaat 45 persen dan 25 persen ini penyusunan normanya sesuai standar ILO soal JKP," terangnya.
Di sisi lain, Ida menekankan JKP hanya untuk pekerja formal yang merupakan penerima upah. Sedangkan untuk pekerja informal tidak mendapat JKP.
Tapi, pemerintah tetap berupaya melindungi pekerja informal. Caranya dengan menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan mengkondusifkan iklim investasi sekaligus memperbesar aliran modal ke dalam negeri dan penciptaan kerja bagi pekerja.
"Jadi salah satu perlindungannya adalah dengan UU Cipta Kerja, kita berharap iklim investasi yang kondusif, banyak yang masuk, tercipta lapangan kerja berkualitas untuk pekerja. Kita dorong agar pekerja informal bisa segera naik kelas menjadi pekerja formal," tandasnya.