Ini 5 Tanda Jadi Budak Kerja


Ilustrasi

Riauupdate.com, JAKARTA - Kemampuan seorang pekerja bisa melakukan pelbagai hal memang patut beroleh pujian. Tetapi apakah itu sebuah prestasi? Atau justru cermin kekacauan mengelola waktu di tempat kerja? Para ahli mengingatkan, pekerja harus mampu membedakan keduanya demi karier dan kesehatan mental mereka.

"Budak kerja mirip dengan workaholic atau gila kerja. Tapi budak kerja adalah seseorang yang memakai kesibukan itu sebagai sebuah lencana kehormatan," tutur Melody Wilding, seorang pelatih eksekutif dan pekerja sosial berlisensi dikutip dari Huffington Post.

"Mereka adalah orang yang membanggakan diri karena lembur, merasa menjadi orang yang mampu melakukan segalanya," tambah dia.

Para budak kerja selalu mengutamakan pekerjaan ketimbang hal lainnya. Bahkan ketika kondisi itu berarti harus mengesampingkan liburan mereka, kesehatan mental dan prioritas karier mereka.

"Mereka barangkali mengeluh tentang tetek-bengek pekerjaan yang harus mereka kerjakan, sehingga mereka bisa-bisa memiliki mentalitas sebagai korban," terang Wilding.

Ada sejumlah pertanda yang bisa membantu apakah Anda termasuk budak kerja sekaligus, fakta lainnya.


Ilustrasi

1. Merasa istimewa mampu menyelesaikan pelbagai masalah

Seorang psikolog yang fokus menangani karier para profesional, Lisa Orbe Austin menilai laku budak kerja tersebut berpotensi mengarah pada sindrom penyemu atau impostor syndrome.

"Gagasan menjadi orang yang dianggap istimewa dalam beberapa hal. Mencari validasi eksternal agar menjadi seorang yang spesial juga menunjukkan fakta bahwa Anda tidak menginternalisasi pencapaian sesungguhnya," tutur Orbe Austin.

Padahal faktanya, Anda justru akan tidak sempat memedulikan diri sendiri ketika mengurus permasalahan orang lain. Mulanya Anda merasa senang ketika bisa membantu rekan kerja, tapi lambat laun momen ini akan berubah menjadi perasaan tidak enak.

Alhasil, kondisi tersebut malah membebani Anda. Alih-alih mengerjakan tugas sendiri, Anda akan merasa tidak enakan untuk menolak memberikan bantuan demi merasa berharga.

Masalah ini akan jadi lingkaran setan.

Padahal ketika tak memerlukan validasi orang lain untuk merasa berharga, Anda justru bisa lebih strategis dan mampu melakukan banyak hal.

2. Tak ada yang mampu kecuali saya

Ketika Anda melihat sebuah permintaan itu bukan merupakan pilihan, melainkan tuntutan. Anda meyakini bahwa setiap permasalahan dalam pekerjaan harus Anda yang menyelesaikan.

Padahal menurut Wilding, ketika Anda dalam posisi sebagai seorang manajer, pola pengelolaan mikro seperti itu justru berpotensi memunculkan kesalahan yang fatal.

Padahal faktanya, laku budak kerja tersebut mau tak mau memengaruhi sikap orang di sekitar Anda. Ketika Anda tak mampu mendelegasikan atau membagi tugas hal  ini bakal merugikan diri sendiri.

3. Menjadi yang pertama datang dan yang terakhir keluar

Para budak kerja menganggap bekerja yang baik adalah mereka yang menghabiskan waktu lama. Kata Wilding, orang-orang itu menyamakan harga diri mereka dengan seberapa banyak produktivitas dan apa yang mereka bisa lakukan.

Padahal faktanya, selalu ada setiap saat sesungguhnya menyakiti diri Anda sendiri dan kolega. Beberapa gejala gangguan fisik ketika Anda memaksakan diri di antaranya sulit tidur, migrain dan, kelelahan.

4. Berkukuh akan menundukkan kepala sembari lanjut bekerja keras

Pelbagai kalimat positif atas nama motivasi itu kadang membawa para pekerja meniti jalan pedang. Sebab boleh jadi kesyahidan bekerja itu belum tentu baik untuk karier mereka. Orbe Austin tak menampik, hasil kerja itu mungkin bakal menuai kalimat pujian.

"Tapi tak berarti itu jalan menuju kesuksesan," dia mengingatkan.

Yang benar adalah, tegakkan kepala Anda dan bukan menundukkannya, sebab belum tentu pekerjaan yang banyak itu setara dengan pekerjaan yang berkualitas.

"Banyak hal yang bisa memajukan karier Anda di antaranya visibilitas, jaringan internal dan eksternal, serta jejaring yang strategis," ungkap Wilding.

5. Merasa tak bisa mengambil jatah liburan

Survei perilaku berlibur yang dilakukan oleh US Travel Association--sebuah organisasi industri perjalanan--menunjukkan bahwa para budak kerja tak mengambil jatah liburan. Sebagai karyawan, mereka memilih tak mengambil cuti karena merasa tak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan tersebut. Padahal ini hanya ketakutan semata.

Ketakutan tersebut menahan mereka dari istirahat. Sementara survei pada 2018 mengenai kebiasaan berlibur orang Amerika mengungkap, para pekerja tak menggunakan hari libur karena khawatir dianggap kurang berdedikasi. Sebagian dari mereka yang disurvei meyakini, terlalu banyak pekerjaan sehingga urung mengajukan cuti.

Padahal faktanya, pemulihan diri adalah kunci dalam keberhasilan karier. Sebagaimana nasihat yang kerap Wilding sampaikan ke kliennya, istirahat adalah investasi besar bagi para pekerja.

"Pemulihan adalah kata partisipatif yang jauh lebih aktif dan lebih bisa mencerminkan apa yang Anda lakukan selama ini," jelas dia.

"Anda berinvestasi untuk masa depan diri Anda sendiri, untuk energi Anda, dan Anda memerlukan waktu pemulihan untuk mengisi ulang baterai Anda," sambung Wilding.***

Sumber : CNN Indonesia.com