Jakarta – Penghapusan Indonesia dari daftar negara berkembang oleh United State Trade Representative atau USTR, sehingga kini dianggap sebagai negara maju, dinilai sejumlah pihak sebagai sebuah hal yang merugikan.
Sebab, nantinya segala bentuk kemudahan bagi Indonesia, seperti misalnya potongan bunga dan subsidi dari perdagangan antarnegara, akan dikurangi karena Indonesia sudah dianggap sebagai negara maju oleh AS.
Menanggapinya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan mengaku, kekhawatiran mengenai hal itu setidaknya sudah bisa diatasi pemerintah.
Sebab, Luhut memastikan bahwa pada awal Maret 2020 mendatang, pihak USTR akan menggelar pertemuan dengan pemerintah Indonesia, yang akan diwakili langsung oleh sejumlah kementerian terkait.
"Mengenai GSP (Generalized System of Preferences atau fasilitas keringanan bea masuk impor), jadi besok 2 Maret 2020 tim dari USTR akan bertemu dengan tim dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, untuk menyelesaikan detailnya," kata Luhut di kantornya, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa 25 Februari 2020.
Luhut memastikan, nantinya dalam hal perdagangan dengan AS, Indonesia masih akan bisa mendapat fasilitas sekitar US$2,4 miliar. "Dan ini akan membuat kita tetap kompetitif," kata Luhut.
Selain itu, Luhut juga menegaskan bahwa permasalahan mengenai GSP dan kaitannya dengan status Indonesia sebagai negara maju, sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda.
Dia menjelaskan, penilaian terhadap sejumlah negara berkembang yang kini sudah dianggap sebagai negara maju oleh AS itu, tidak hanya diberikan kepada Indonesia saja melainkan kepada 25 negara lainnya.
"Jadi itu ada 26 negara yang dikategorikan seperti itu, termasuk salah satunya Indonesia, Vietnam, India, dan segala macam. Tapi untuk soal GSP itu ada 'deal' sendiri lagi," kata Luhut.
"Jadi kalau orang bilang ada strategi licik atau segala macam, itu tidak benar. Jangan lah kita berburuk sangka," ujarnya.
Sumber: Vivanews. com