Alasan Penting Anak Belajar Berenang


Jakarta ‐ Savana Sky, merasakan kesegaran air dengan gembira. Lengan dan kakinya yang gempal digerakkan ke depan dan belakang mengikuti aba-aba instruktur renang dengan bantuan ibunya, Icha Avrianty yang memegangi lengan. Empat bayi lain usia di bawah setahun, ikut nyemplung ke air dalam sesi latihan renang khusus bayi ini.

Biayanya tidak murah. Sebuah tempat kebugaran yang menyediakan berbagai sarana olah tubuh dan renang dengan fasilitas keamanan dan instruktur bersertifikat di Jakarta memungut Rp1,2 juta untuk tiap bulan keanggotaan.

Orangtua seperti ayah-ibu Sky, melihat kemampuan berenang sangat penting dan bersedia membayar lumayan mahal untuk itu.

"Semakin cepat anak bisa berenang semakin tenang saya. Karena dunia anak sangat dekat dengan main air, anak mana yang gak tergiur main air? Berenang di sini bukan renang mahir dengan beragam gaya ya, tapi kemampuan anak untuk ngapung," kata Icha.

Kakak Sky, Gwen, mulai diajari berenang saat berusia dua tahun. Kemampuan mengendalikan diri dalam air ini, dipandang sebagian orangtua sebagai life skill penting saat tumbuh. Terutama jika memperhitungkan banyaknya kasus kematian dan kecelakaan yang melibatkan lingkungan perairan di sekitar tumbuh kembang anak.

Laporan Badan Kesehatan PBB, WHO, tentang Kejadian Akibat Tenggelam 2016 menggarisbawahi ketidakmampuan berenang sebagai salah satu sebab angka kematian di dunia akibat tenggelam demikian tinggi.

Diperkirakan 622 ribu tewas tiap tahun akibat tenggelam dalam berbagai kondisi, termasuk karena kecelakaan di kolam renang, hanyut terbawa ombak di pantai atau tewas saat bekerja mencari ikan di sungai.

"Kejadian tenggelam sebagai isu global berubah sangat drastis dalam beberapa tahun ini. Karena semua negara punya pengalaman dan konteks yang berbeda, kita perlu melihat strategi yang berbeda juga. Negara maju cenderung mengambil strategi seperti mewajibkan pelajaran renang, balawista (lifeguards), kolam renang yang aman," kata Justin Scarr dari International Lifesaving Federation yang Oktober lalu menjadi penyelenggara Konferensi Internasional Pencegahan Kejadian Tenggelam di Durban, Afrika Selatan.

Negara berkembang biasanya fokus pada strategi komunitas, keamanan transportasi air, dan penanganan pencari suaka (yang banyak jadi korban tenggelam)," katanya lagi.

Negara maju seperti Norwegia mulai menerapkan renang sebagai kurikulum sekolah sejak 2015. Fasilitas termasuk kolam renang, pelatih, dan ujian disediakan negara dan masuk mata pelajaran wajib. Keputusan ini diambil pemerintah setelah lobi sejumlah organisasi pro-keselamatan air sejak 2008.

"Ini penting karena Norwegia adalah negara dengan empat musim. Bukan cuma kemampuan renang tapi juga kemampuan anak untuk mengenali bahaya dan menjaga keselamatan di sekitar air atau salju. Anak Grade-10 (sekitar 15-16 tahun) sudah diajari kemampuan memberi pernapasan buatan (CPR) jika diperlukan," kata Claire Ann Alfonso, Presiden Lifesaving Society Norwegia.

Toh dengan tingkat keamanan tinggi dan standar kolam yang ketat ala Norwegia, musim panas 2018 di negara dengan sekitar lima juta warga itu menelan 102 korban tewas akibat tenggelam.

Negara dengan kemampuan finansial jauh lebih terbatas seperti Bangladesh, tak mau ketinggalan.

Aminur Rahman memimpin sebuah LSM di Bangladesh yang menginisiasi berbagai program termasuk SwimSafe, latihan berenang untuk anak-anak. Supaya murah, di pedesaan latihan dilakukan di empang/kolam warga.

"Kalau penyakit mematikan perlu vaksin, maka latihan berenang adalah vaksin untuk tenggelam. Biayanya sekitar US$10 per-anak. Tiap anak usia di atas empat tahun sudah bisa ikut," kata Rahman yang saat ini menjadi penasehat ahli pemerintah Bangladesh untuk mengatasi problem tenggelam.

Bangladesh adalah salah satu negara dengan angka kematian akibat kejadian tenggelam tertinggi di Asia. Tiap hari sekitar 30 anak tewas karena tenggelam, sebagian besar di empang yang berjarak sangat dekat dari rumah warga.

Badan SAR Nasional yang sering kali diterjunkan dalam upaya penyelamatan korban akibat tenggelam menyerukan agar Indonesia mengikuti jejak pembelajaran berenang pada anak. Di negara dengan wilayah kepulauan dan bencana yang kerap terjadi akibat musim hujan, kemampuan berenang dan kemanan air (water safety) bisa menyelamatkan nyawa.

"Sebaiknya ini dimulai dari keluarga. Orangtua membimbing anak-anak sendiri. Karena kalau mengandalkan ekstrakurikuler seperti kegiatan berenang di sekolah, kita tahu di kolam itu anak yang suka berenang ya berenang. Yang nggak suka ya main-main air saja," saran Humas Basarnas Suhri Sinaga.

Perkiraan WHO menyebut tiap tahun lebih dari 8.700 orang meninggal akibat tenggelam di Indonesia, di luar korban kecelakaan kapal dan bencana alam. Itu berarti, setiap hari lebih dari 23 orang meninggal dunia akibat kasus tenggelam.


Sumber: Cnnindonesia. com