Jakarta - Harga
minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) mencetak rekor terparah
sepanjang sejarah yakni minus US$ 37,63 per barel pada perdagangan Senin
kemarin. Sementara untuk jenis Brent berada di level US$ 22,74 per barel.
Menurut Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan,
sekarang sudah saatnya pemerintah dan badan usaha menurunkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) dalam negeri.
Menurut Mamit, meski harga BBM tak mengacu pada WTI yang
harganya minus, namun permintaan akan penurunan harga BBM sudah disuarakan
sejak 1 bulan terakhir. Apalagi, saat ini masyarakat banyak yang terimbas
dampak virus Corona (COVID-19).
"Lantas yang jadi pertanyaan apakah pemerintah harus
menurunkan harga BBM? Ya. Saya kira desakan ini sudah cukup lama, mungkin sudah
dari awal bulan kemarin untuk pemerintah menurunkan harga BBM," kata Mamit
kepada detikcom, Selasa (21/4/2020).
Ia menuturkan, baik BBM subsidi seperti Premium, maupun BBM
non-subsidi seperti Pertamax series sudah sewajarnya diturunkan untuk
mengurangi beban masyarakat di tengah pandemi Corona.
"Apakah harus Premium atau umum? Saya kira kedua-duanya
memang harus diturunkan," imbuh Mamit.
Melihat ketentuan perhitungan formula harga dasar penjualan
BBM eceran jenis non-subsidi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) nomor 62 tahun 2020, penurunan itu seharusnya
dilakukan di akhir April, atau awal Mei 2020 ini.
"Memang sudah diatur dalam Kepmen, kapan mereka harus
melakukan evaluasi. Harusnya sih 3 hari lagi mereka paling tidak sudah
melakukan perhitungan. Harapan saya mungkin tanggal 27 April atau pun awal Mei
saat itu sudah ada harga baru, harusnya ya," urainya.
Penurunan harga BBM non-subsidi ini pun menurutnya
kewenangan PT Pertamina (Persero), yang akan diikuti oleh perusahaan penjual
BBM lainnya. Sementara, untuk BBM subsidi ada di tangan pemerintah.
"Harus pemerintah yang menentukan apakah Premium harus
mengalami penurunan atau seperti apa. Karena khusus Premium, solar industri,
dan minyak tanah ini berbeda, kewenangannya bukan di Kementerian ESDM, bahkan
mungkin kewenangan Kemenko atau Presiden sendiri yang akan mengumumkan untuk
harga Premium," papar Mamit.
Untuk besarannya, ia memprediksi harga Pertamax bisa
mencapai level Rp 7.500/liter, sementara Premium Rp 5.500/liter.
"Kalau ICP kita di bulan Maret US$ 34 per barel, saya
anggap di bulan April ICP kita di angka US$ 30. Dengan acuan MOPS plus US$ 14,
jadi di angka US$ 44, dengan kurs taruhlah Rp 15.500, dengan PPN 10%, margin
10%, dengan PBBKB, mungkin di angka Rp 7.500/liter untuk Pertamax. Ini estimasi
saya dengan mengambil ICP yang rata-rata sekarang US$ 30, atau mungkin bisa
lebih rendah bulan ini. Ya mungkin di angka Rp 7.500/liter. Kalau untuk Premium
plus PPN, di luar margin SPBU, jadi ini harga dasarnya saja jadi sekitar Rp 5.500/liter
dengan acuan ICP. Bisa lebih murah saya yakin, karena tergantung harga
MOPS," tutup Mamit.
Sumber: Detik.com