Jakarta - Dalam laporan tahunan yang dirilis Selasa (28/4),
Komisi Kebebasan Beragama (USCIRF) menilai India seharusnya masuk ke dalam
daftar negara dengan tingkat kebebasan beragama "yang
mengkhawatirkan," dan terancam dikenakan sanksi jika gagal memperbaiki situasi.
"Pada tahun 2019, kondisi kebebasan beragama di India
mengalami kemunduran yang drastis, ditandai dengan serangan yang meningkat
terhadap minoritas agama," tulis USCIRF dalam laporannya.
Panel lintas partai itu hanya memberikan rekomendasi, tanpa
kewenangan untuk menetapkan kebijakannya sendiri. Dalam hal ini Kementerian
Luar Negeri diyakini tidak akan mematuhi rekomendasi tersebut, lantaran posisi
India sebagai sekutu AS yang kian menguat.
Meski demikian, rekomendasi USCIRF menambah tekanan terhadap
pemerintah di New Delhi yang dihujani kritik, terutama seputar amandemen UU
Kewarganegaraan yang dinilai PBB bersifat "diskriminatif" terhadap
minoritas muslim.
Presiden AS Donald Trump sendiri menolak mengritik UU
tersebut saat berkunjung ke India Februari silam. Saat itu pertemuannya dengan
Perdana Menteri Narendra Modi dibayangi aksi kerusuhan, di mana 53 orang yang
kebanyakan kaum muslim tewas terbunuh.
Narasi anti-muslim pemerintah India
USCIRF sendiri mengaku bersifat nonpolitis dan hanya
mempertimbangkan laporan perihal kebebasan beragama, terlepas dari hubungan
negara yang bersangkutan dengan pemerintah AS, kata Wakil Direktur USCIRF
Nadine Maenza.
Selain amandemen UU Kewarganegaraan yang kontroversial,
Maenza juga menilai India berusaha "membungkam minoritas agama. Hal ini
sangat bermasalah," ujarnya
Sebab itu USCIRF mendesak pemerintah AS memberlakukan sanksi
berupa larangan masuk bagi sejumlah pejabat India. Komisi itu juga meminta
pemerintah membantu pembiayaan lembaga swadaya untuk memantau ujaran kebencian
di negara tersebut.
Komisi kebebasan beragama menilai pemerintahan nasionalis
Modi"membiarkan tindak kekerasan terhadap minoritas dan rumah ibadah
mereka berkecamuk tanpa intervensi hukum."
Pejabat pemerintah juga diyakini "ikut terlibat atau
mentolelir ujaran kebencian atau seruan untuk melakukan tindak kekerasan."
Penggalan tersebut merujuk pada Menteri Dalam Negeri Amit
Shah, yang bertindak sebagai orang nomor dua setelah Modi. Dia berulangkali
menyebut minoritas muslim sebagai "rayap" dan mengakui UU
Kewarganegaraan disusun untuk memarjinalisasi minoritas muslim di India.
New Delhi juga dituding menutup mata saat sekelompok orang
menyerang pemukiman kaum muslim di Kashmir, pada bulan Februari silam.
Bantahan New Delhi
Pemerintahan Modi yang sejak awal kritis terhadap USCIRF
sebaliknya mengecam laporan tersebut. "Komentar yang bias dan tendensius
terhadap India bukan hal baru," kata Jurubicara Kementerian Luar Negeri
Anurag Srivastava.
"Tapi dalam hal ini, gambaran keliru (oleh USCIRF)
sudah mencapai level baru. Kami menganggap organisasi ini sebagai 'organisasi
yang mengkhawatirkan' dan akan memperlakukan mereka secara sepadan."
Saat ini Kementerian Luar Negeri AS menempatkan sembilan
negara dalam daftar "negara yang mengkhawatirkan," yakni Cina,
Eritrea, Iran, Myanmar, Korea Utara, Arab Saudi, Pakistan, Tajikistan dan
Turkmenistan.
Selain India, USCIRF juga mengusulkan agar Nigeria, Rusia,
Suriah dan Vietnam dimasukkan ke dalam daftar hitam tersebut.
Nasib 100 juta penduduk di ujung tanduk
UU Kewarganegaraan India membuka jalur cepat bagi pencari
suaka asal negeri jiran, dengan syarat tidak beragama Islam. Pemerintah
berdalih kaum muslim merupakan mayoritas di negara-negara tetangga dan sebabnya
dikecualikan dari daftar kelompok yang rentan terdampak diskriminasi.
Namun langkah itu dikritik sebagai upaya pemerintah Modi
untuk mengubah India menjadi negara Hindu.
Tony Perkins, Direktur USCIRF, yang merupakan politisi
konservatif dari Partai Republik, menyebut UU Kewarganegaraan India sebagai
"titik balik," merujuk pada negara bagian Assam, di mana sebanyak 1,9
juta warga muslim tidak mampu menunjukkan akta kelahiran sebelum tahun 1971,
ketika kaum muslim dari Bangladesh melarikan diri dari perang kemerdekaan.
"Niat pemerintah India adalah menciptakan situasi
serupa di seluruh negeri," kata dia seperti dilansir AFP. UU tersebut
menurutnya "berpotensi merenggut kewarganegaraan dari 100 juta penduduk
atas alasan agama. Hal ini jelas merupakan isu internasional," ujar
politisi anti LGBTQ yang dekat dengan pemerintahan Donald Trump itu.
Untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun terakhir,
pemerintah India mendapat kritik tajam dari Kongres Amerika Serikat perihal
kebijakannya terhadap minoritas muslim.
Sumber: Detik.com