Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak pernah
benar-benar disukai pemilih Perancis. Tingkat kepuasan publik yang melonjak
usai pemilu, lebih sering merangkak di kisaran 30% di sisa masa jabatannya,
setidaknya hingga wabah corona melanda.
Meski mencatat lebih dari 165.000 kasus penularan dan lebih
17.900 korban jiwa, tingkat kepuasan publik pada Macron melonjak tinggi ke
kisaran 50%. "Tren seperti ini jarang terjadi," tulis Jean-Daniel
Levy dalam keterangan pers usai menggelar jajak pendapat, akhir Maret silam
Tren serupa juga diamati di Italia yang remuk oleh wabah
corona. Menurut survey teranyar, Perdana Menteri Guiseppe Conte menikmati
tingkat kepercayaan sebesar 71%, atau naik sebanyak 27% dari masa sebelum
krisis.
Bahkan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, yang
dibanjiri kritik ihwal kapasitas Sistem Kesehatan Nasional (NHS), juga
menikmati lonjakan popularitas ke kisaran 70%. Hal serupa diamati di Jerman,
Austria dan Belanda, tulis The Economist.
Borong Suara di Korea Selatan
Lonjakan popularitas di tengah krisis kesehatan membuahkan
banjir kepercayaan kepada partai-partai pemerintah di Korea Selatan. Dalam
pemilihan umum legislatif, Rabu (16/4) silam, koalisi pemerintah meraup 180
dari 300 kursi di parlemen.
Kinerja pemerintah yang dianggap sukses meredam eskalasi
wabah corona dilihat sebagai faktor utama di balik kemenangan pemilu. Meski
wabah yang masih mengancam, angka partisipasi melonjak tinggi dengan lebih dari
28 juta pemilih memberikan suara.
Saat ini angka penyebaran virus corona di Korsel bertengger
stabil di kisaran 10.000 kasus dengan 230 angka kematian. Meski laju penularan
mencuat dini pada Februari silam, Korsel mampu menghadang eskalasi wabah dengan
menggandakan kapasitas pengujian cepat.
Kinerja pemerintahan Korsel di awal pandemi ikut
menyelamatkan karir politik Moon yang sempat terancam ambruk oleh skandal korupsi
dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hingga akhir Januari silam, tingkat
kepuasan publik atas sang presiden masih merangkak di kisaran 40%.
Kejatuhan "pemimpin besar"
Fenomena serupa sebaliknya tidak terjadi di Amerika Serikat
yang menantikan pemilihan umum kepresidenan dan legislatif pada November
mendatang. Menurut jajak pendapat Gallup, tingkat kepuasan Publik terhadap
Presiden Donald Trump menyusut tajam ke angka 43%.
Trump dinilai abai saat berulangkali menyangkal potensi
wabah corona di Amerika Serikat pada Februari silam. Dia dianggap melewatkan
jendela waktu selama 70 hari yang dimiliki pemerintah untuk meredam penularan
sebelum wabah mengganas Maret lalu.
Saat ini Amerika Serikat mencatat lebih dari 600.000 kasus
penularan dan 34.000 angka kematian.
Sikap abai yang ditunjukkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro
juga menjadi bumerang bagi popularitasnya. Menurut lembaga riset XP lp Epse
yang dilansir France24, sebanyak 42% pemilih memandang buruk kinerja
pemerintahannya dengan tingkat kepuasan anjlok di angka 33%.
Bolsonaro sejak awal menentang ide karantina dan menolak
menghentikan kegiatan ekonomi. Kamis (16/4) lalu dia memecat Menteri Kesehatan
Luiz Henrique Mandetta lantaran ingin menerapkan karantina total di Brasil.
Bahkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang memiliki
otoritas mutlak atas pemberitaan media harus mengalami anjlokan tingkat
kepuasan publik sebanyak 14,7% pada bulan Maret, klaim lembaga riset MetroPoll
seperti dilansir media diaspora Turki, Ahval News yang bermarkas di London.
Menurut laporan tersebut, Erdogan kini hanya mencatat
tingkat kepuasan publik sebanyak 41,9%.
Popularitas menurun pasca krisis
Derasnya kepercayaan publik di tengah situasi krisis bukan
fenoma baru, kata Nathalie Tocci, Direktur Institut Hubungan Luar Negeri di
Italia saat diwawancara New York Times. "Hal yang sama terjadi pada
pemimpin kompeten atau yang buruk sekalipun," kata dia.
Hanya saja efek positif pada elektabilitas itu tidak berumur
panjang. Menurutnya jika situasi memburuk atau wabah berakhir, maka "warna
aslinya baru akan terlihat."
Hal ini terjadi pada Presiden Perancis Macron. Usai
menikmati lonjakan popularitas ke angka 59% pada 13 Maret lalu, kini tingkat
kepercayaan public Perancis terkoreksi menjadi 43%.
Adapun ihwal tingkat kepuasan yang anjlok pada pemimpin
populis seperti di AS, Turki dan Brasil, Tocci meyakini krisis kesehatan pada
akhirnya mendorong penduduk lebih mempercayai model pemerintahan yang lebih
rasional.
Sumber: Detik.com