Kisah Dokter Arab Pimpin RS Israel Lawan Virus Corona



Jakarta - Khitam Hussein, dokter etnis Arab punya peran vital dalam perang melawan virus Corona di Israel.

Khitam berjuang keras dan sudah terjaga sejak pagi. Ia lalu menuju Rumah Sakit Rambam di dekat Haifa. Rambam adalah rumah sakit terbesar di Israel Utara.

Sejak pandemi corona melanda dunia, Khitam yang merupakan Kepala Unit Penanganan Wabah di rumah sakit tersebut bekerja selama 12 jam dalam waktu satu bulan terakhir.

"Sungguh sebuah pekerjaan yang sulit, tidak ada kegiatan yang sama dengan hari lainnya." "Kehidupan kami pun seolah naik-turun," kata Khitam.

Dengan kondisi pandemi corona, kisah-kisah pasien virus corona pun sering melekat lama dalam ingatan Khitam dan dokter-dokter lain.

Salah satu kisah yang diingat oleh Khitam adalah ketika sepasang suami-istri datang ke rumah sakit dengan kondisi sakit parah.

Lantaran kondisi sang suami memburuk, pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan pasangan tersebut menikmati momen kebersamaan terakhir mereka.

"Kami mengizinkan istrinya yang juga sakit, berbicara dengan sang suami, untuk mengucapkan selamat tinggal. Tak lama kemudian, sang suami meninggal."

"Sebagai manusia, hal itu sangat sulit dan semua tim medis juga merasakan kesedihan," tutur Khitam.

Sebagai dokter, Khitam tidak pernah membeda-bedakan pasien, entah itu etnis Arab maupun Yahudi. Bagi Khitam, hal paling penting adalah bisa menyelamatkan banyak nyawa dalam kondisi krisis ini.

Hal paling sulit saat berjuang di garis depan di tengah pandemi Corona ini adalah Khitam harus merelakan waktu untuk tidak bertemu keluarganya.

Hampir dua bulan Khitam tak bertemu ibu karena khawatir menularkan virus. Sementara itu sang suami berprofesi sebagai pengacara tinggal di rumah bersama dua anak Khitam yang berusia delapan dan 10 tahun.

Khitam masih memilih untuk pulang ke rumah sedangkan sebagian rekan tenaga medis memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Setiap pulang ke rumah, Khitam langsung mencuci baju dan mandi sebelum berjumpa anak.

"Biasanya saya tiba di rumah ketika mereka sudah tertidur namun terkadang mereka terjaga dan menunggu saya."

"Saya mampu untuk tidak mengunjungi orang tua saya namun saya tidak mampu berhenti untuk tidak bertemu anak-anak saya. Saya tidak bisa menggambarkan betapa saya rindu mereka," ujar Khitam.

Khitam ingat jelas momen ketika salah satu putrinya, Hala menelepon di tengah kesibukannya menghadapi pasien corona.

"Dia menangis di telepon dan berkata,'Aku merindukanmu, kapan ibu pulang? Untuk sesaat, saya merasa akan pingsan. Namun kemudian saya bisa mempertahankan kesadaran dan kembali bekerja'," ujar Khitam.

Komunitas etnis Arab di Israel adalah mereka yang bertahan di tanah mereka pada tahun 1948, ketika Yahudi mendeklarasikan kemerdekaan mereka. Komunitas Arab kini menyumbang 20 persen populasi dari Israel dan banyak yang bekerja sebagai tenaga medis.

Pada 2018, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sempat mendorong parlemen menghasilkan undang-undang yang mendeklarasikan Israel sebagai negara untuk orang-orang Yahudi.

Rencana itu kemudian mengundang kemarahan dari etnis Arab di Israel dan etnis minoritas lain karena hal itu berarti menepikan hak untuk hidup mereka di negara Israel.

"Bila dirimu adalah dokter Arab atau perawat di rumah sakit yang tidak memejamkan mata selama berminggu-minggu, kalian akan tahu bahwa mereka tidak akan punya keinginan untuk mengubah hukum negara," tutur Yair Lapid, Ketua Partai Oposisi Terbesar di Israel, saat mengkritik sikap Netanyahu yang terus-terusan mengabaikan kontribusi etnis Arab di bidang medis.


Sumber: Cnnindonesia.com