Mengapa Negara-negara Kaya Alami Kematian COVID-19 yang Tinggi?
Jakarta - Inilah kisah para dokter dan perawat yang
senantiasa menjalankan tugasnya menyelamatkan nyawa. Tapi virus corona terlalu
berat untuk ditangani.
Unit gawat darurat, koridor-koridor rumah sakit disesaki
pasien yang ketakutan, para dokter yang terpaksa mengambil keputusan berat:
siapa yang akan mendapat ventilator siapa yang tidak.
Kita telah melihat kesedihan dan kekecewaan di balik masker
para tenaga medis. Mayat-mayat korban bergelimpangan, bahkan ada yang
dikuburkan bertumpuk-tumpuk dalam satu lubang.
Mayat korban COVID-19 disimpan di parkiran bawah tanah di
Barcelona, ketika pengurus jenazah di Spanyol sempat kehabisan tempat
penampungan. (AP: Dmitri Lovetsky)
Baru permulaan
Wakil pejabat medis tertinggi Australia Paul Kelly
menjelaskan, pengujian dan data mungkin menimbulkan kesan bahwa ini penyakit
orang kaya, karena jumlah kematian terbesar terjadi di negara-negara kaya.
"Pengujian itu sangat membantu, namun tidak semua orang
yang terinfeksi di dunia telah diuji," katanya.
Sikap negara-negara yang cepat berpuas diri dan terlalu
percaya diri telah menyebabkan puluhan ribu warganya kini meninggal, di samping
faktor demografi dan komorbiditas.
Jadi jika kita menganggap virus ini penyakit orang kaya, itu
tak sepenuhnya tepat. Negara-negara kaya seperti Australia, Selandia Baru,
Jerman dan Yunani mampu menekan penyebarannya melalui tindakan sulit di awal.
Meski lockdown dan penutupan pembatasan sudah berlangsung
cukup lama, tapi sebenarnya ini baru permulaan.
Negara-negara seperti Australia telah berhasil dengan baik,
namun tidak dijamin akan di masa depan. Perjalanan kita masih dipenuhi kabut
tebal.
Namun dari sudut pandang saat ini, foto-foto dokter dan
perawat yang terpukul, ambulans yang menunggu berjam-jam di UGD, dengan jelas
menunjukkan kegagalan yang dialami negara-negara yang seharusnya justru paling
siap.
Sumber: Detik.com