Usai Dihajar Covid-19, Ekonomi Inggris Diramal Runtuh Tahun Ini



Jakarta - Belakangan ini, banyak negara mulai melonggarkan pembatasan sosial diwilayahnya demi memulihkan ekonomi setelah dihajar pandemi Corona. Namun, upaya pemulihan ekonomi dari pandemi bakal menjadi lebih berat bagi Inggris. Bank of England bahkan meramal tahun ini bakal menjadi kehancuran ekonomi terburuk dalam lebih dari 300 tahun sejarah Inggris.

Penyebabnya, bukan karena Corona saja, melainkan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa yang justru membuat negara tersebut semakin sulit untuk bangkit. Sebagaimana diketahui, Inggris resmi keluar dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020 lalu. Fenomena bersejarah ini dikenal dengan istilah Brexit (British Exit).

"Seluruh dunia bergerak melawan resesi karena virus Corona. Tetapi Inggris memiliki masalah tambahan dalam negosiasi dengan Uni Eropa pada paruh kedua tahun ini," ujar Ekonom Senior dari Bank Berenberg, Kallum Pickering dikutip dari CNN Business, Selasa (26/5/2020).

Bank of England mencatat awal bulan ini ekonomi Inggris sudah menyusut sebanyak 14% dari pertumbuhan tahun lalu. Ini merupakan kontraksi tahunan terbesar sejak tahun 1706. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris pun diramal anjlok hingga 25% hingga akhir Juni 2020 mendatang.

Data yang dirilis oleh pemerintah Inggris dalam beberapa hari terakhir justru lebih mengerikan lagi. Klaim tunjangan pengangguran meningkat drastis hingga 69% menjadi hampir 2,1 juta pada akhir bulan lalu. Inflasi bulan April, meski turun dalam 3 bulan terakhir menjadi 0,8%, malah meningkatkan kekhawatiran bahwa harga bisa juga menurun secara drastis.

Saking suramnya, pemerintah Inggris baru-baru ini menjual obligasi pertamanya dengan hasil negatif. "Pasar mencerminkan realitas ekonomi yaitu ekonomi telah runtuh," ujar Kepala Ekonom Inggris di Bank of America, Robert Wood.

Mata uang Pound Inggris juga tertekan lebih dari 8% sejak awal tahun menjadi kurang dari US$ 1,22 dan juga jatuh lebih dari 5% terhadap mata uang Euro.

Indeks saham FTSE 100 (UKX) di London juga kehilangan lebih dari 21% (Year to Date/YTD) dibandingkan dengan hampir 9% untuk S&P 500, sedangkan saham FTSE 250 perusahaan menengah Inggris turun lebih dari 26%.

Menyiasati keterpurukan tersebut, sejumlah kebijakan pun telah diambil pemerintah Inggris. Inggris sampai rela berutang hingga US$ 75,7 miliar pada April lalu. Jumlah itu adalah level tertinggi sejak 1993 lalu. Pemerintah Inggris bahkan berencana mengajukan pinjaman lagi sebesar US$ 363,3 miliar hingga Maret 2021 mendatang, hampir dua kali lipat dari catatan pinjaman setelah puncak krisis keuangan global lalu.

Gubernur Bank of England Andrew Bailey bahkan mengisyaratkan bahwa suku bunga resmi saat ini bisa menjadi negatif 0,1% untuk pertama kalinya dalam sejarah Inggris.

Kondisi-kondisi tersebut diramal membuat ekonomi Inggris sulit untuk pulih. Lantaran Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah berkomitmen membuat Inggris tetap keluar dari Uni Eropa. Padahal Uni Eropa memberi perpanjangan tenggat waktu hingga 30 Juni mendatang agar Inggris tetap menjadi bagian Benua Biru tersebut.

"Brexit akan semakin memperumit masalah," ujar Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar.



Sumber: Detik.com