Jakarta - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mencatat
posisi dana haji per Mei 2020 mencapai Rp 135 triliun. Dari dana tersebut, Rp
132 triliun merupakan setoran awal dan nilai manfaat, lalu Rp 3,4 triliun
berupa dana abadi umat (DAU).
Kepala Badan Pelaksana BPKH Anggito Abimanyu mengatakan,
untuk keberangkatan haji BPKH seharusnya menyiapkan Rp 14,5 triliun kepada
Kementerian Agama (Kemenag). Dari angka tersebut, Rp 8,5 triliunnya berupa
valuta asing atau valas.
"Dalam keadaan normal BPKH tugasnya menyiapkan dana
kepada Kemenag. Jadi BPIH disetujui DPR, lalu Keppres diterbitkan, maka tugas
kami menyiapkan dana. Bentuknya valas dan rupiah. Lebih banyak vals dari pada
rupiah, jumlahnya Rp 14,5 triliun, sekitar Rp 8,5 triliun dalam bentuk valas,
sisanya rupiah," kata Anggito dalam diskusi virtual Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN), Jumat (5/6/2020).
Meski begitu, Anggito kembali menegaskan dana tersebut yang
berbentuk valas bukanlah digunakan untuk penguatan rupiah.
"Dalam mengelola valas itu tentu kami berkoordinasi
dengan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Maka kalau dikatakan
sebagai penguatan rupiah, itu adalah bagian dari operasi kami sebenarnya untuk
mengadakan valas. Tapi kami tidak bertugas untuk melakukan penguatan
rupiah," paparnya.
Anggito menjelaskan, ketika dana haji tahun 2020 tidak
terpakai karena pembatalan keberangkatan, maka BPKH memiliki dua opsi untuk
tetap menyimpan dalam bentuk valas, atau menjual ke rupiah.
"Maka pilihannya dana tersebut diakumulasikan dalam
bentuk valas, atau dijual dan mendapatkan rupiah. Saat ini imbal hasil dari
deposito dolar itu hanya 1%, kalau dengan rupiah itu 5-6%, kalau dibelikan
sukuk 7-8%. Kalau diinvestasikan langsung bisa 9-10%. Jadi pilihan kami adalah
mencari portofolio yang memberikan nilai optimal untuk jemaah haji,"
terangnya.
Meski ada opsi-opsi tersebut, ia menegaskan BPKH tidak punya
tujuan atau tugas untuk memperkuat nilai rupiah dengan menggunakan dana haji.
"Jadi kalimat yang mengatakan dipakai untuk penguatan
rupiah itu miss leading," tegas Anggito.
Apabila dalam pengelolaan dana haji ini berimbas pada
penguatan rupiah, menurutnya hal itu adalah kebijakan moneter di Indonesia,
bukan BPKH. "Itu kebijakan moneter," ujarnya.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Saadi juga
membantah isu dana haji digunakan untuk memperkuat rupiah. Menurut Zainut,
tuduhan yang ditujukan kepada pemerintah tersebut adalah fitnah.
"Tuduhan uang haji akan digunakan oleh pemerintah untuk
memperkuat rupiah adalah fitnah yang sangat keji, dan pendapat tersebut sama
sekali tidak berdasar. Statement seperti itu hanya mungkin keluar dari orang
yang sudah terbiasa dengan pikiran kotor dan suka mencari sensasi," tegas
Zainut dalam keterangan resminya, Jumat (5/6/2020).
Zainut menegaskan, dana haji tahun 2020 yang tak terpakai
akan dikelola oleh BPKH sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, dari
hasil pengelolaan dana yang dilakukan BPKH, calon jemaah haji pun akan
memperoleh nilai manfaatnya.
"Setoran pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (BIPIH)
yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh BPKH. Nilai
manfaat dari setoran pelunasan itu akan diberikan oleh BPKH kepada jemaah haji
yang bersangkutan paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama
penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M," terang Zainut.
Namun, Kemenag juga telah memberikan opsi kedua yakni jemaah
haji bisa menarik setoran pelunasannya. "Setoran pelunasan Bipih dapat
diminta kembali oleh jemaah haji," tuturnya.
Zainut menegaskan, seluruh skema di atas telah disetujui
juga oleh Komisi VIII DPR RI sebagai parlemen.
"Skema pengaturan Bipih tersebut, juga sudah
disampaikan oleh Menteri Agama pada saat Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI
pada 11 Mei 2020 secara virtual, dan Komisi VIII DPR RI dapat menerima usulan
Kemenag tersebut, sehingga menjadi kesimpulan dalam rapat," imbuhnya.
Zainut meminta agar masyarakat Indonesia menyampaikan kritik
yang berdasar, bukan subjektif.
"Kami sangat menghormati kritik sepanjang kritik
tersebut dilandasi niat yang baik, objektif, dan argumentatif. Bukan kritik
yang subjektif, asumtif dan hanya untuk mencari sensasi semata,"
pungkasnya.
Sumber: Detik.com