Terungkap, Ada Kompensasi Fee PT CGA dengan Wakil Rakyat



PEKANBARU - Dalam persidangan lanjutan dugaan gratifikasi dalam pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning yang dilakukan oleh Bupati Bengkalis non aktif, Amril Mukminin, kembali terungkap fakta baru. Hal itu terkait adanya kompensasi fee antara PT Citra Gading Asritama (CGA) sebagai pemenang pekerjaan tersebut, dengan 'wakil rakyat' di Kabupaten Bengkalis.

Fakta itu terungkap dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Kamis (9/7/2020). Dimana, fakta tersebut pertama kali diungkap oleh saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdul Kadir, mantan Ketua DPRD Bengkalis.

Dalam kesaksiannya, Abdul Kadir mengakui, terkait proyek Jalan Duri-Sei Pakning, ada pertemuan yang membahas  tentang uang kompensasi (fee) 1,5 persen dari PT CGA. Hal ini, kata dia, berdasarkan arahan dari Ketua DPRD Bengkalis yang kala itu dijabat, Heru Wahyudi.

Terhadap keterangan itu, majelis hakim mempertanyakan kepada Abdul Kadir mengenai apakah uang kompensasi itu permintaan anggota Dewan atau dari PT CGA.

"PT CGA yang menjanjikan," jawab Abdul Kadir, dikutip dari Klikmx.com

Atas jawab tersebut, hakim ketua Lilin Herlina SH MH membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Abdul Kadir, yang menerangkan bahwa uang kompensasi tersebut atas permintaan anggota dewan.

Kepada Abdul Kadir, lalu Lilin Herlina menyampaikan, Pasal 21 dan Pasal 22 terkait sanksi terhadap saksi yang telah disumpah memberikan keterangan palsu.

"Ingat ya ada Pasal 21 dan Pasal 22," ancam hakim ketua.

Terkait hal itu, Abdul Kadir akhirnya merubah keterangannya. Diakui dia, uang konpensasi merupakan permintaan dari kalangan legislatif di Kabupaten Bengkalis.

"Saat itu PT CGA hanya sanggup memberi 1,5 persen. Sementara, anggota (dewan) minta 2,5 persen dari nilai pekerjaan. Pada akhirnya kompensasi tetap 1,5 persen," imbuh Abdul Kadir.

Setelah terjadi kesepatakan, dilanjutkannya, dirinya dihubungi oleh Heru Wahyudi dan diperintahkan untuk menjemput uang kompensasi dari PT GCA melalui Triyanto.

"Uang itu diterima dari Triyanto. Waktu itu (saya menghubungi Triyanto) mengatakan Rp1 miliar," paparnya.

Terhadap uang itu, Abdul Kadir menjemputnya secara langsung kepada Triyanto. Transaksi ini terjadi di parkiran depan Hotel Sabrina Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru. Namun, mengenai kapan uang tersebut diterima, ia mengaku, tidak ingat bulannya, tapi terjadi pada tahun 2016 lalu.

"Uang itu dibungkus dalam amplop warna putih. Isinya 50.000 dolar singapura atau sekita Rp500 juta. Uang itu, saya simpan di dalam mobil," akuinya.

Masih dalam kesaksiannya, keesokan harinya Abdul Kadir bertemu dengan Heru Wahyudi di Kota Bertuah. Dalam pertemuan itu, Abdul Kadir menyampaikan telah menerima uang dari PT CGA. 

Sedangkan, terhadap sisanya dijanjikan Tryanto akan diberikan di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

"30.000 Dolar Singapura diambil Heru Wahyudi. Sisanya 20.000 sama saya," terangnya dalam persidangan.

Selang beberapa hari kemudian, Abdul Kadir berangkat ke Batam untuk bertemu Triyanto dan mengambil sisa uang fee yang dijanjikan sebesar 50.000 Dolar Singapura. Begitu tiba di Bandara Hang Nadim, kata dia, dirinya dijemput dan menginap di Hotel Nagoya Hill.

"Uang itu diberikan Triyanto di Hotel. Dari sana (Batam) saya langsung ke Pekanbaru untuk menjumpai pimpinan (Heru Wahyudi)," tuturnya lagi.

Selanjut kata dia, Heru Wahyudi memerintahkan dirinya untuk membagi-bagian uang 70.000 Dolar Singapura kepada anggota DPRD Bengkalis. Akan tetapi, hal itu tidak direalisasikannya setelah bertemu dengan anggota legislatif lainnya, Kadaerismanto, dan Indrawan Sukmana.

"Saat itu jumpa Kaderismanto menyebutkan, apa yang kita lakukan salah, dan saya sadar. Saran beliau uang itu dikembalikan. Saya menyimpan uang itu dan menunggu untuk mengembalikan kepada orang yang tepat," jelasnya.

Terhadap keterangan itu, hakim ketua kembali membacakan BAP Abdul Kadir. Yang mana, menerangkan Abdul Kadir, Indrawan Sukamana, dan Kaderismanto sepekat mengembalikan uang 70.000 Dolar Singapura kepada Tryanto.

"Kalau saudara sadar, saat itu dikembalikan bukan 2 tahun kemudian. Saudara itu mengembalikan uang bukan karena sadar. Melainkan, karena (PT CGA) tidak memenuhi permintaan," kata hakim ketua. 

"Saya membantah itu, yang benar saya sadar itu salah," sanggah Abdul Kadir.

"Ini BAP saudara ke penyidik (KPK)," timpal Lilin Herlina.

Ditegaskan hakim ketua, pengembalian uang bukan karena Abdul Kadir sadar dan perbuatan tersebut salah. Akan tetapi, PT GCA tidak memenuhi permintaan kompensasi fee yang diminta oleh anggota Dewan.

"Sebenarnya tidak jadi dibagikan (kepada anggota DPRD) karena apa. Karena tidak penuh pemberian kompensasi (dari PT CGA)," tanya hakim.

"Iya yang mulia," jawab Abdul Kadir.

Selanjutnya, Abdul Kadir menerangkan, uang tersebut dikembalikan kepada anak Ichsan Suadi yang merupakan pemilik PT GCA. Uang itu, diserahkan kepada yang bersangkutan ketika bertemu di Dumai.

"Dikembalikan, saya ketemu anak Ichsan yang punya PT CGA. Dia berada di Dumai, maka saya ke sana dan kembalikan uang 70.000 ribu Dolar Singapura," tuturnya. 

 Hakim anggota Sahrudi SH juga mempertanyakan kepada Abdul Kadir yang pernah meminta dana melalui progam CSR PT CGA untuk anak kurang mampu di salah satu pesantren di Bengkalis.

Terkait hal ini, Abdul Kadir tak menampiknya. Tak hanya itu saja, hakim juga menyampaikan, saksi pernah mengirim pesan via telegram kepada Triyanto untuk meminta uang sebesar Rp200 juta. Uang tersebut guna memuluskan anggaran multiyears dengan mengatasnamakan Komisi II DPRD Bengkalis.

"Iya Yang Mulia. Tapi itu tidak jadi, karena Triyanto tidak membalas pesan saya," kata Abdul Kadir.
Kemudian, giliran JPU KPK yang mencerca Abdul Kadir dengan sejumlah pertanyaan. Salah satunya, fee 1,5 yang diminta dari mana asalnya serta berapa berjumlahnya. Akan tetapi, mantan pimpinan DPRD Bengkalis mengaku, tidak mengetahuinya.

"Jumlahnya saya tidak tahu. 1,5 persen itu dari angka (nilai kontrak proyek) yang ditetapkan," jawab Abdul Kadir.

Dalam sidang kesaksian Abdul Kadir, penasehat hukum Amril Mukminin mempertanyakan masalah penandatanganan nota kesepakatan (Mou) terkait proyek yang menjadi masalah itu.

Abdul Kadir menerangkan, pada tahun 2016, Amril Mukminin sudah jadi Bupati Bengkalis. Abdul Kadir mengaku tidak mengetahui adanya penandatanganan nota kesepakatan bersama Amril Mukminin saat itu.

"Khusus proyek Duri-Sei Pakning dianggarkan 2016 untuk dilaksanakan 2017. Saat itu saya Wakil Ketua di komisi 4. Sebelum ketuk palu ada MoU. MoU sebelum pembahasan," terangnya.

Tahun 2017 mulai 18 September, Abdul Kadir menjadi Ketua DPRD Bengkalis. Pada saat menjadi Ketua DPRD, Abdul Kadir mengakui adanya dianggarkan kembali proyek tersebut.

"Penganggaran di komisi 2. Saya kira disahkan. Tahun 2017 tidak ada penandatangan Mou," ucapnya.

Terkait hal ini, penasehat hukum Amril Mukminin meminta kepada majelis hakim untuk memperlihatkan barang bukti (BB) nomor 100. Hal itu terkait MoU yang dilakukan 2017 untuk dana pekerjaan tahun 2018.

"Ini tandatangan anda kan. Kenapa tadi anda bilang tidak ada melakukan MoU bersama Bupati," tanya penasehat hukum.

Abdul Kadir menjelaskan, bahwa MoU itu bukan untuk proyek yang dikerjakan oleh PT CGA di tahun 2018.

"Melihat keuangan daerah, maka itu dibatalkan. Di Komisi II itu terlalu banyak kegiatan yang masuk, sehingga keuangan daerah tidak dapat menampung. Saya suruh pangkas," jawabnya.

Untuk diketahui, Amril Mukminin didakwa JPU KPK dalam perkara dugaan gratifikasi. Jumlahnya beragam. Ada yang Rp5,2 miliar. Dan ada juga sebanyak Rp23,6 miliar lebih.

Uang Rp5,2 miliar, berasal dari PT CGA dalam proyek pembangunan Jalan Duri–Sei Pakning.

Sedangkan uang Rp23,6 miliar lebih itu, dari 2 orang pengusaha sawit. Uang dari pengusaha sawit itu diterima Amril melalui istrinya, Kasmarni. Ada yang dalam bentuk tunai, maupun transfer. 

Atas perbuatannya, Amril dijerat dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 11, dan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.***