Contoh Nyata Bahayanya Kebanyakan Cetak Uang


Jakarta - Wabah virus Corona atau COVID-19 telah membuat pemerintah RI harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk menangani dampaknya. Defisit anggaran diyakini akan melebar signifikan karena wabah ini.

Badan Anggaran DPR RI pun mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Tujuannya untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari akibat yang ditimbulkan

Ketua Badan Anggaran MH Said Abdullah mengatakan pemerintah telah mengambil langkah langkah dalam penanganan untuk mengatasi pandemi virus corona, baik penanganan yang berkaitan dengan penanganan kesehatan masyarakat, maupun penanganan akibat dampak ekonominya.

"Namun melihat besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan, Badan Anggaran DPR RI memperkirakan skenario penganggaran yang direncanakan pemerintah tampaknya kurang mencukupi," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menurutnya hal itu berdasar pada dua hal yakni ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan sebagai akibat menurunkannya kegiatan ekonomi, sehingga menurunnya kemampuan debitur membayar kredit.

Kedua membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan.

Atas dua hal itu Badan Anggaran DPR RI merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah beberapa hal. Salah satunya cetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memprediksi akan terjadi inflasi tinggi yang melanda Indonesia akibat pencetakan uang ratusan triliun ini.

"Mencetak uang tanpa ada underlying asset yang jelas ini bisa menimbulkan dampak pada inflasi tinggi," kata Bhima kepada detikcom.

Dampak itu bukanlah ancaman semata. Negara lain seperti Zimbabwe sudah mengalaminya langsung akibat cetak uang terus-menerus. Berdasarkan catatan detikcom, Zimbabwe pernah mengalami inflasi hingga 11,250 juta persen bahkan pernah menyentuh 231 juta persen pada 2008.

Salah satu pemicu ledakan inflasi adalah suplai yang berlebihan. Presiden Robert Mugabe yang memimpin Zimbabwe selama 37 tahun itu mencetak uang yang berlebihan guna mendanai kampanye pemilu. Saat kepemimpinannya, kondisi perekonomian terus-terusan jatuh.

Akibat itu, tingkat pengangguran di sana mencapai 80-94%. Banyak pabrik-pabrik manufaktur yang tutup sementara suplai makanan juga langka.

Banyak pekerja yang tak merasakan dampak dari gajinya karena harga-harga sangat tinggi akibat stok barang di toko-toko sangat langka.

Tingginya inflasi di Zimbabwe membuat negara ini pernah melakukan redenominasi mata uang, dengan menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
Sementara Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan pencetakan uang artinya bank sentral menambah uang beredar. Jika tidak mampu akibat kelebihan likuiditas, maka likuiditas tersebut tidak bisa diserap kembali.

"Seperti dulu waktu BLBI kan bank sentral mengedarkan uang. Sebagai gantinya dikasih surat utang pemerintah yang tidak tradeable dengan suku bunga mendekati nol persen. Waktu inflasi naik, bank sentral tidak menggunakan SOP ini," kata Perry dalam RDP virtual dengan komisi XI DPR RI, Kamis (30/4/2020).

Dia mengungkapkan, pada periode 1998 angka inflasi mencapai 67% akibat pencetakan uang. Hal ini berbeda dengan operasi moneter dan penambahan likuiditas di perbankan.

"Nah penambahan likuiditas yang BI lakukan sekarang Rp 503,8 triliun disebut quantitative easing (QE). Semoga ini menjelaskan hal yang kompleks dan berbeda antara pencetakan uang dengan QE," imbuh dia.



Sumber: Detik.com