Jakarta - Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan
Muhammad Chatib Basri menilai krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi COVID-19
lebih parah dibandingkan krisis 1998. Padahal yang terjadi puluhan tahun silam
itu sudah sangat memporak-porandakan ekonomi Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa pandemi virus Corona ini berbeda
dengan krisis 1997-1998. Saat itu perusahaan-perusahaan besar memang dibuat
babak-belur oleh krisis, tapi Indonesia tertolong oleh sektor usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM).
Begitu pula untuk krisis 2008, yang masih bisa diredam oleh
pemerintah dengan mendorong konsumsi dalam negeri. Sebab kejadian saat itu
lebih bersifat eksternal.
"Tapi kalau COVID-19, ditambah dengan social
distancing, itu semua kena, yang besar, yang kecil, lokal, eksternal, kena,
karena aktivitas ekonomi yang nggak boleh berjalan. Itu yang membuat ini
menjadi jauh lebih parah dibandingkan dengan situasi sebelumnya," kata dia
dalam diskusi virtual yang tayang di YouTube, Jumat (8/5/2020).
Menurutnya pandemi COVID-19 sangat rumit. Sebab merebaknya
virus Corona membuat aktivitas produksi terpukul sehingga menyebabkan supply
shock. Dampak selanjutnya orang-orang akan kehilangan pendapatan dan pekerjaan
sehingga menyebabkan demand shock.
Satu hal lagi yang tidak terjadi pada krisis sebelumnya tapi
terjadi saat pandemi COVID-19 adalah social distancing atau pembatasan sosial
berskala besar (PSBB).
Chatib melanjutkan, kunci dari sebuah aktivitas ekonomi
adalah terjadinya transaksi atau adanya pasar. Pasar itu terdefinisi sebagai
tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa. Namun karena
adanya pembatasan sosial, orang-orang tidak boleh bertemu.
"Jadi bisa dibayangkan hal yang paling esensial dari
aktivitas ekonomi itu dilarang. Nah kalau itu dilakukan dan itu memang sudah dilakukan
untuk alasan yang benar, untuk mengatasi supaya pandeminya tidak menular maka
yang terjadi adalah aktivitas ekonominya berhenti," ujarnya.
Belum lagi tidak ada jaminan bahwa orang yang sembuh dari
virus Corona tidak akan tertular lagi. Artinya masih dimungkinkan terjadi
penyebaran Corona gelombang kedua.
Bahkan pasca berakhirnya pandemi virus Corona, yang
menurutnya tidak bisa diprediksi, seluruh aktivitas ekonomi belum tentu kembali
normal begitu saja.
"Nah kalau misalnya proses traumanya berjalan agak
panjang maka proses recoverynya nggak segampang yang dibayangkan orang. Ini
sesuatu yang kita bisa bayangkan," jelasnya.
Belum lagi perusahaan yang sudah terlanjur mem-PHK karyawan
karena pandemi COVID-19, ketika perekonomian mulai pulih mereka pun harus
merekrut lagi tenaga kerja yang mana itu membutuhkan waktu. Kompleksitas
tersebut membuat dampak Corona ke perekonomian sulit diprediksi.
"Jadi ini yang saya bilang, makanya prosesnya itu menjadi
sangat sulit di dalam membuat prediksi," tambahnya.
Sumber: Detik.com