Kajati Tuntut Mantan Sekwan DPRD Rohil 20 Bulan Penjara

Pekanbaru - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Rokan Hilir (Rohil) menuntut mantan Sekwan DPRD Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Syamsuri, dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan (20 bulan).

Tuntutan itu dibacakan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang digelar secara virtual, Kamis (15/10/2020) sore.

Selain Syamsuri, JPU juga menuntut dua orang terdakwa lainnya dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan (18 bulan) kedua orang itu adalah mantan Plt Sub Bagian Verifikasi pada Keuangan Sekretariat DPRD Rohil, Mazlan dan Bendahara Pengeluaran pada Sekretariat DPRD Rohil, Riris Opat Juliana Simanjuntak.

JPU menilai, ketiga orang diatas yang menjadi terdakwa, terbukti bersalah melakukan penyelewengan dalam kegiatan kerjasama informasi media massa pada Sekretariat Daerah Kabupaten Rohil tahun anggaran 2016-2017.

"Menuntut terdakwa Syamsuri dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan. Terdakwa juga dibebankan membayar denda sebesar Rp50 juta atau subsider 3 bulan kurungan," ucap JPU Herlina Samosir SH di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Mahyudin SH MH, dikutip dari Klikmx.com.

"Menuntut terdakwa Mazlan dan Riris Opat Juliana dengan pidana penjara masing-masing selama 1 tahun 6 bulan. Kedua terdakwa juga dibebankan membayar denda masing-masing Rp50 juta atau subsider 3 bulan kurungan," sambung Herlina, yang merupakan Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Rohil.

Dalam tuntutan itu, ketiga terdakwa dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang  Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

"Adapun hal yang memberatkan, perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Perbuatan para terdakwa juga merugikan keuangan negara," terang Herlina.

"Sedangkan hal yang meringankan, para terdakwa bersikap sopan, mengakui perbuatan dan menyesalinya serta belum pernah dihukum. Para terdakwa juga telah mengembalikan uang kerugian negara sepenuhnya," sambung Herlina.

Atas hal tersebut, para terdakwa diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menyampaikan nota pembelaan (Pledoi) pada persidangan selanjutnya. Namun, dikarenakan para terdakwa tidak mengajukan Pledoi, majelis hakim selanjutnya mengagendakan persidangan pembacaan vonis pada awal bulan November.

Dalam perkara ini, Korps Adhyaksa Rohil telah berhasil menyelamatkan uang kerugian negara. Artinya, para terdakwa tersebut, telah mengembalikan uang kerugian negara, yang sebagian besar dititipkan ke Kejari Rohil. 

"Sesuai dengan penghitungan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Provinsi Riau, kerugian negara dalam perkara ini sebanyak Rp 892.875.000. Jadi ditingkat penyidikan oleh pihak Polres (Rohil), saat itu juga sudah ada pengembalian (uang kerugian negara) oleh terdakwa Riris. Jadi jika dihitung ditingkat penyidikan dan penuntutan, uang kerugian negara sudah 100 persen dikembalikan oleh para terdakwa," terang Herlina.

"Setelah perkara inkrah, uang yang dititipkan ke kami (jaksa), langsung di setor ke kas negara," sambungnya.

Dalam surat dakwaan, ketiga terdakwa yang merupakan mantan Pejabat Pengadaan serta Bendahara di Setwan Rohil dinyatakan melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan itu, dilakukan para terdakwa sejak Januari 2016-Januari 2017 lalu.

Dalam pada tahun itu, Sekwan Rohil menganggarkan program pelayanan administrasi perkantoran seperti pengadaan buku perundang-undangan. Lalu, kerja sama dengan media massa antara lain publikasi, kerja sama media cetak serta online.

Dari program ini, lima item kegiatan dengan anggaran Rp2,4 miliar lebih sepakat untuk menutup uang persediaan sebesar Rp1,6 miliar. Terhadap dana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dibayarkan oleh para terdakwa. Namun, mereka membuat laporan pertanggung jawaban fungsional tahun 2016 seakan-akan ada pembayaran atas kegiatan tersebut.